Oleh:
Muh Afit Khomsani
(Pengurus Bidang Hubungan Luar Negeri dan Jaringan Internasional PB PMII)
Menuju usia PMII yang ke-63 tahun, penting bagi kita insan pergerakan untuk kembali melihat, merefleksikan, serta mengevaluasi langkah dan arah pergerakan organisasi ini. Sejak berdiri pada tahun 1960 silam, PMII telah hadir dan berkontribusi pasa setiap lintas zaman bangsa ini. PMII pada awalnya merupakan jawaban atas kebutuhan akan adanya wadah kaderisasi intelektual mahasiswa Nahdlatul Ulama (NU) di Perguruan Tinggi. Hingga pada akhirnya, kelahiran PMII merupakan respon atas dinamika sosial politik pada saat itu, di mana Orde Lama mengarah otoritarianisme dan banyaknya penyelewengan kekuasaan.
Dalam perkembangannya, dinamika awal PMII tidak terlepas dari NU sebagai organisasi induknya. Sebagai bagian dari Partai Politik (Parpol) NU saat itu, PMII pernah terlibat dalam gerakan politik praktis pada Pemilu 1971. Pada satu sisi, gerak politik PMII berkontribusi pada keberhasilan NU menjadi Parpol dengan suara terbanyak kedua pada Pemilu tersebut. Akan tetapi, aktivitas politik tersebut juga berdampak mulai ditinggalkannya gerakan moral dan keilmuwan PMII, di mana kampus tidak menjadi centre of knowledge, melainkan basis agitasi politik. Hal inilah yang kemudian mendorong lahirnya Deklarasi Murnajati 1972. Dalam Deklarasi yang diselenggarakan pada 14-16 Juli di Malang tersebut, PMII menyatakan independensinya dari struktur formal Parpol NU, yang pada akhirnya membuka akses dan independensi PMII dari organ politik di Indonesia. Pernyataan sikap tersebut kemudiaan diikuti dengan Deklarasi ‘Penegasan’ Cibogo 1989, dan Deklarasi Interdependensi 1991 pada Kongres PMII di Pondok Gede, Jakarta. Meskipun pada era ini terjadi dinamika yang sangat luar biasa -termasuk hubungan PMII dengan NU-, PMII menjadi bagian dari gerakan moral untuk melawan otoritarianisme pemerintahan Orde Baru. Hingga pada akhirnya, PMII bersama elemen masyarakat lainnya berkontribusi gerakan reformasi guna mendorong pemerintahan yang lebih demokratis.
Interdependensi PMII terhadap NU, Masih Relevan?
Jika kita melihat kembali faktor utama ‘keluarnya’ PMII dari organisasi induknya, yaitu NU, tidak lain adalah kondisi NU pada saat itu yang masih menjadi organisasi partai politik. PMII menyatakan independen dan terpisah secara struktur dari NU. PMII tidak ingin diintervensi dan didikte oleh kekuatan politik yang semakin menghambat tujuan utama PMII, yaitu organisasi intelektual pemuda NU. Dalam konteks saat itu, keluarnya PMII dari Parpol NU merupakan bentuk komitmen PMII untuk tetap menjadi organisasi yang independen dan terbebas dari pengaruh kekuatan politik. Keputusan tersebut adalah jalan organisasi yang dipilih untuk tetap fokus pada kaderisasi intelektual mahasiswa perguruan tinggi. Lantas, bagaimana status PMII ketika NU sudah tidak menjadi Parpol, dan kembali menjadi organisasi sosial kemasyarakatan?
Merujuk pada beberapa sumber dan pernyataan organisasi PMII, hubungan PMII terhadap NU hingga saat ini adalah interdependen. Hal ini didasarkan pada Deklarasi Interdepensi PMII pada Kongres X PMII di Asrama Haji, Pondok Gede Jakarta tahun 1991. PMII menyatakan bahwa meskipun secara de jure PMII terpisah dari struktur organisasi NU, kondisi faktual PMII merupakan bagian yang tak terpisahkan dari NU, di mana nafas gerakan, basis ideologi, dan kultur organisasi adalah Ahlusunnah Wal Jamaah (Aswaja) an-Nahdliyah.
Secara bahasa, interdependen bermakna kesalingbergantungan. Dalam literatur lainnya, interdependensi adalah suatu ketergantungan yang disebabkan oleh kerjasama yang tercipta antara dua aktor atau lebih karena adanya rasa saling membutuhkan. Konteks ini tentu menjelaskan bahwa baik NU maupun PMII saling bergantung pada peran dan keberadaan satu sama lain. NU membutuhkan PMII sebagai wadah strategis untuk kaderisasi intelektual pemuda NU yang tentu akan menjadi penerus organisasi di masa depan. Lebih rincinya, NU sangat membutuhkan PMII untuk menjadi sayap organisasi intelektual yang kritis. Pada saat yang sama, PMII membutuhkan NU sebagai ‘kompas atau navigator’ untuk memberikan petunjuk dalam arah gerak organisasi.
Pembahasan status PMII terhadap haruslah menjadi diskusi semua kader dan anggota PMII di seluruh level kepengurusan, mulai dari Pengurus Rayon di Fakultas hingga Pengurus Besar (PB) di tingkat nasional. PB PMII sebagai titik koordinasi dan simpul gerakan dari semua PMII di daerah sudah saatnya untuk membuka wacana tersebut untuk kemudian dikontekstualisasikan dengan kebutuhan PMII saat ini. Di sisi lain, PB NU sebagai rumah asal PMII harus melihat rencana jangka panjang kaderisasi NU dan tidak menegasikan ciri PMII sebagai organisasi mahasiswa yang kritis dan independen.
Diskusi tersebut tentu harus dilakukan secara adil dan bebas tanpa intervensi kekuasaan NU maupun PMII. Kepengurusan PMII dibebaskan untuk melakukan kajian dan dialog multistakeholders tentang urgensi pembacaan ulang relasi PMII dan NU. Dalam hal ini, kontekstualisasi tersebut harus mempertimbangan beberapa hal penting, yaitu realitas yang ada bahwa organisasi NU yang tidak lagi sebuah organisasi politik, serta nafas PMII sebagai organisasi mahasiswa kritis dan independen. Independensi PMII merupakan sebuah wujud organisasi yang secara bebas terlibat dalam rekayasa sosial, dan insan akademis yang harus objektif dalam melihat fakta di masyarakat.
Pembacaan ulang relasi PMII dan NU dapat menjadi jawaban atas posisi dan sikap interdependensi PMII. Hal tersebut sangat penting bagi PMII untuk dapat merumuskan arah gerak dan road map PMII di masa yang akan datang. Kolotnya kita untuk mempertahankan relasi interdependen PMII jangan sampai hanya bermuara pada kegamangan arah gerak, inkonsistensi, dan ketidaktegasan organisasi yang berdampak pada tidak maksimalnya agenda kaderisasi di PMII.
NU dan PMII: Dua Sisi Mata Uang
Fakta bahwa NU dan PMII saling melengkapi adalah nyata adanya. PMII dengan latar belakang anggota dan kader di Universitas atau perguruan tinggi tentu diharapkan akan mampu melahirkan insan intelektual yang kritis dan profesional di bidangnya. Sumber daya manusia yang berkualitas inilah nantinya melahirkan banyak pemimpin sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri NU. Lainnya, secara kuantitas, PMII yang secara konsisten melakukan kaderisasi berjenjang (sejak tingkat fakultas di Kampus hingga nasional) di lebih dari 250 kepengurusan cabang di seluruh Indonesia tentu menjadi potensi besar bagi masa depan NU dan Indonesia. Lebih lanjut lagi, PMII juga sangat dibutuhkan kaitannya dengan gerak organisasi NU di wilayah dan daerah, utamanya di luar Pulau Jawa. Keberadaan PMII sangatlah vital untuk menjadi motor penggerak organisasi. Anggota dan kader PMII terlibat dalam membantu agenda dan program organisasi, mulai dari kaderisasi hingga kegiatan lainnya.
Sebagai organisasi yang lahir dari rahim NU, PMII tentu banyak menjadikan NU sebagai mentor dan petunjuk organisasi. Hal ini tidak semata-mata pada konsep dan relasi historis, teologis dan kultural, melainkan bagaimana PMII belajar tentang komitmen pada perjuangan organisasi. PMII perlu berbenah untuk beradaptasi pada dinamika sosial masyarakat yang berkembang sangat cepat. Dalam hal ini, penulis melihat bahwa dalam beberapa dekade terakhir PMII masih minimnya konsep dan gagasan yang terimplementasikan dengan baik. Suksesi kepemimpinan sering kali disertai dengan terputusnya arah gerak organisasi. Tidak adanya kontinuitas agenda organisasi antarkeperungurusan di PMII tersebut menjadikan organisasi belum mempunyai road map dan cetak biru agenda organisasi yang tersusun dengan baik.
Transformasi keorganisasi yang terjadi pada NU dapat menjadi contoh terbaik bagi PMII. Terbaru, momentum abad ke-2 NU setidaknya mengisyaratkan dua pesan strategis Nahdlatul Ulama. Pertama yaitu keterlibatan aktif NU dalam isu-isu strategis baik di level nasional maupun internasional yang meliputi keadilan sosial, kemandirian ekonomi, perubahan iklim, krisis energi, ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), dan antisipasi konflik global di masa depan. Kedua, NU juga harus lebih percaya diri untuk tampil sebagai entitas untuk mendiasporakan nilai-nilai washatiyah sebagai identitas nahdliyin dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Dua hal tersebutlah yang kemudian akan diimplementasikan dalam road map abad ke-2 NU, yaitu penguatan sumber daya NU -termasuk kader dan fasilitas NU-, dan maksimalisasi peran NU dalam memoderasi kompetisi ekonomi, sosial politik, serta penetrasi ideologi transnasional.
Merumuskan Arah Gerak dan Peta Jalan: Empat Gerakan Strategis PMII
Dengan belajar dari NU, pada momentum hari lahir ke-63 ini PMII harus segera merumuskan peta jalan agenda dan arah gerak organisasi. Praktisnya, PMII perlu melakukan upaya-upaya terorganisir untuk melakukan evaluasi gerak masa lalu dan merencanakan agenda jangka panjang ke depannya.
Urgensi transformasi PMII mengingatkan kita pada pesan KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur kepada PMII. Dalam PMII dan Program Prioritas NU yang dimuat dalam buku Pemikiran PMII dalam berbagai Visi dan Persepsi karya A. Effendi Choirie dan Choirul Anam (1991), Gus Dur menjelaskan bahwa terdapat empat transformasi yang sudah dan akan dilalui oleh NU, -di mana PMII menjadi salah satu kelompok penting dalam transformasi tersebut-, yaitu sosial budaya, sosial politik, sosial ekonomi, dan IPTEK. Lebih lanjut lagi, Gus Dur menjelaskan bahwa sudah saat nya PMII meninggalkan cara kerja seperti partai politik, dan mulai masuk pada cara kerja praktis. Artinya, gerakan PMII tidak lagi didasarkan pada tindakan insidental dan upaya mengerahkan massa semata, melainkan pada gerakan substantif yang terukur.
Isyarat dari Gus Dur tersebut sangatlah relevan untuk kemudian dikontekstualisasikan dalam agenda kerja organisasi PMII. Jika merujuk pada Tujuan berdirinya PMII, maka semua hal yang dilakukan oleh organisasi bermuara pada agenda-agenda kaderisasi. Sebagai organisasi yang berlandaskan pada Aswaja an-Nahdliyah dalam gerakannya, PMII setidaknya harus merencanakan konsep gerakan yang fokus pada empat hal utama, yaitu Keislaman, Kebangsaan, Keilmuwan, dan Kepemimpinan. Hal ini selaras dengan tujuan PMII sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 Bab IV Anggaran Dasar PMII, yaitu “Terbentuknya pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap, dan bertanggungjawab dalam mengamalkan ilmunya, serta komitmen dalam memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia”.
Pertama, gerakan Keislaman PMII terletak pada bagaimana anggota dan kader PMII mampu memahami dan mengimplementasikan Aswaja sebagai manhaj al-Fikr atau landasan berpikir dan gerakan kader PMII. Dalam tataran implementasinya, PMII harus mampu merespon dinamika sosial keagamaan dalam konteks masyarakat Indonesia, utamanya cara pandang masyarakat terhadap relasi kehidupan beragama dan bernegara.
Kedua, komitmen PMII diwujudkan dalam gerakan kebangsaan. Konteks ini merujuk pada Pancasila sebagai komitmen kebangsaan PMII. Semua gerakan dan agenda organisasi bertujuan untuk menegakan lima sila tersebut, yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial, sebagai tujuan dari berdirinya negara Indonesia ini.
Ketiga adalah komitmen terhadap keilmuwan. Sikap PMII sebagai organisasi intelektual adalah dengan mempertahankan idealisme, moral, dan intelektualitas. Tidak hanya terdepan dalam aktivitas akademik di kampus melalui kontribusi dalam riset dan ilmu pengetahuan, agenda PMII diharapkan dapat menjadi kelompok intelektual yang berperan sebagai opinion leaders, atau kelompok yang berpengaruh.
Keempat adalah gerakan strategis kepemimpinan. Aspek ini merupakan puncak dari fokus gerakan PMII. Semua agenda PMII harus berorientasi pada membentuk pribadi yang mempunyai karakter kepemimpinan yang cakap. Sebagai muara dari agenda kaderisasi organisasi, PMII berkewajiban untuk melahirkan banyak pemimpin yang berkualitas untuk mampu mengisi pos-pos strategis di negara ini. Hal ini penting untuk memastikan bahwa implementasi kebijakan dan arah pembangunan bangsa ini akan selaras dengan tujuan negara ini didirikan.
Dirgahayu PMII ke-63 Tahun
Ilmu dan Bakti, Ku Berikan
Adil dan makmur kuperjuangkan