A. Pendahuluan
Kebijakan perpajakan
suatu negara merupakan salah satu instrumen penting dalam kebijakan fiskal yang
dirancang dan diatur oleh Kementerian Keuangan. Kebijakan ini memainkan peran strategis
dalam mengatur penerimaan negara sekaligus memengaruhi berbagai aspek
perekonomian, baik di tingkat makro maupun mikro. Salah satu jenis pajak yang
menjadi tulang punggung penerimaan negara di Indonesia adalah Pajak Pertambahan
Nilai (PPN).
PPN merupakan jenis
pajak yang dikenakan pada setiap tahap produksi dan distribusi barang serta
jasa yang memenuhi kriteria sebagai Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena
Pajak (JKP). Pajak ini diberlakukan terhadap Wajib Pajak yang telah memenuhi
syarat dan memperoleh status sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). PPN dipungut
ketika terjadi transaksi penyerahan BKP atau JKP oleh PKP kepada konsumen
akhir, yang pada akhirnya menanggung beban pajak tersebut. Dalam sistem
perpajakan ini, pemerintah memiliki peran sebagai pengelola utama yang
memastikan pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN berjalan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
B. Kebijakan
PPN 12%
Kebijakan tarif PPN
di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan seiring perkembangan ekonomi
dan kebutuhan fiskal negara. Saat ini, peraturan terkait tarif PPN merujuk pada
Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP),
yang menjadi bagian dari upaya reformasi sistem perpajakan di Indonesia. Salah
satu poin penting dalam undang-undang ini adalah pengaturan mengenai kenaikan
tarif PPN menjadi 12% yang mulai berlaku efektif pada 1 Januari 2025.
Dalam UU HPP, khususnya
pada Bab IV Pasal 7, dijelaskan bahwa tarif PPN akan mengalami kenaikan
bertahap. Perubahan ini merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk
menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil, transparan, dan berkelanjutan.
Selain itu, kebijakan ini diharapkan mampu meningkatkan kontribusi pajak
terhadap penerimaan negara, yang pada gilirannya akan memperkuat basis fiskal
nasional. Namun, jika ada pertimbangan lebih lanjut PPN bisa diturunkan ke
nilai terendah sebesar 5% dan tertinggi di nilai 15%. Hal tersebut bisa
dilakukan secara konstitusional dengan membuat Peraturan Pemerintah yang
disepakati oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Penerapan tarif PPN
sebesar 12% memiliki beberapa tujuan strategis, di antaranya:
1.
Meningkatkan
Penerimaan Negara
Kenaikan
tarif PPN dirancang untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor
perpajakan. Dengan meningkatnya tarif ini, diharapkan pendapatan dari PPN dapat
menjadi sumber daya utama dalam pembiayaan program pembangunan nasional.
2.
Mendukung
Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan
Kebijakan
ini dirancang agar tidak hanya meningkatkan penerimaan negara tetapi juga tetap
menjaga stabilitas perekonomian. Pendapatan tambahan dari PPN akan digunakan
untuk mendanai berbagai proyek infrastruktur, program sosial, dan inisiatif ekonomi
yang berkontribusi pada pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan.
3. Percepatan Pemulihan
Ekonomi
Dalam konteks pemulihan ekonomi
pasca-pandemi COVID-19, pemerintah memerlukan strategi konsolidasi fiskal yang
kuat. Kenaikan tarif PPN ini menjadi salah satu langkah untuk mendukung
percepatan pemulihan ekonomi melalui pembiayaan program-program yang mendukung
dunia usaha, masyarakat, dan sektor-sektor strategis lainnya.
4. Perbaikan Defisit
Anggaran dan Rasio Pajak
Kenaikan tarif PPN juga bertujuan untuk
memperbaiki struktur anggaran negara dengan mengurangi defisit anggaran. Selain
itu, kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan rasio pajak terhadap PDB, yang
saat ini dinilai masih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di
kawasan.
Namun, kebijakan ini
juga menimbulkan berbagai tantangan, termasuk potensi dampaknya terhadap daya
beli masyarakat dan pelaku usaha, terutama di segmen menengah ke bawah. Untuk
mengatasi hal tersebut, pemerintah telah menyiapkan berbagai skema insentif dan
perlindungan bagi kelompok masyarakat yang rentan, sehingga dampak negatif dari
kenaikan tarif PPN dapat diminimalkan.
Melalui penerapan
kebijakan ini, pemerintah menunjukkan komitmennya dalam menciptakan sistem
perpajakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan nasional, sekaligus
mendukung tercapainya tujuan pembangunan jangka panjang yang berorientasi pada
kesejahteraan rakyat secara menyeluruh.
Kenaikan tarif Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia diperkirakan akan berdampak signifikan
terhadap konsumsi rumah tangga, yang merupakan komponen utama dalam Produk
Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Sebagian data dan analisis mengenai dampak
tersebut:
1. Penurunan Pertumbuhan
Konsumsi Rumah Tangga:
Menurut penelitian yang dilakukan oleh
pusat kajian anggaran sekretariat jenderal DPR RI pada tahun 2022, peningkatan
tarif PPN sebesar 1% dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan konsumsi rumah
tangga sebesar 0,32% hingga 0,51% dalam kurun waktu 2-3 tahun.
2. Dampak pada Inflasi
dan PDB:
Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12%
pada awal 2025 diperkirakan akan meningkatkan inflasi sebesar 0.4% dan
menurunkan PDB sebesar 0.1%. Mengutip data BSI outlook inflasi IHK Indonesia
pada 2025, memprediksi hingga kuartal IV 2025 angka inflasi bisa menjangkau
hingga 3,42 persen.
3. Kenaikan Harga Barang
Konsumsi:
Kenaikan PPN menyebabkan lonjakan harga
pada sebagian besar barang konsumsi, termasuk kebutuhan pokok yang sebelumnya
sudah mengalami tekanan inflasi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat
inflasi pada November 2024 dibandingkan dengan awal tahun menunjukkan kenaikan
sebesar 1,12%.
4. Beban PPN pada Rumah
Tangga:
LPEM FEB UI) dalam laporannya bertajuk Indonesia Economic Outlook 2025 menjelaskan
Setelah kenaikan tarif PPN menjadi 11% pada 2022-2023, beban PPN rumah tangga
termiskin naik menjadi 4,79% dan yang terkaya sebesar 5,64%.Dengan kenaikan
tarif PPN menjadi 12% pada 2025, beban ini diperkirakan akan meningkat lebih
lanjut, yang dapat menekan daya beli masyarakat, terutama bagi kelompok
berpendapatan rendah.
Secara keseluruhan,
kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025 diperkirakan akan menekan daya beli
masyarakat dan mengurangi konsumsi rumah tangga, yang pada akhirnya dapat
memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
C. Rekomendasi
1. Mendesak
Pemerintah Mengkaji Ulang Kenaikan Tarif PPN
Pemerintah perlu
melakukan kajian ulang terkait kebijakan PPN 12% yang direncanakan berlaku pada
2025 dengan mempertimbangkan situasi ekonomi masyarakat yang masih belom
sepenuhnya stabil pasca pandemi COVID 19. Sebab kebijakan kenaikan PPN menjadi
12% saat daya beli masyarakat masih rendah, dapat memperburuk ketimpangan
ekonomi dan memperlambat target pemulihan ekonomi nasional.
2. Mendorong
Komunikasi Aktif dari Pemerintah kepada Masyarakat
Pemerintah harus
menyampaikan tujuan dan manfaat kebijakan fiskal, termasuk kenaikan PPN, secara
transparan kepada masyarakat melalui saluran komunikasi yang luas dan mudah
diakses. Kurangnya pemahaman dapat memicu resistensi publik terhadap kebijakan
pajak, yang berpotensi menyebabkan bias atau opini liar di masyarakat.
Komunikasi yang baik dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah.
3. Diversifikasi
Instrumen Pajak
Pemerintah harus
mengoptimalkan sumber penerimaan pajak lain selain PPN, seperti pajak
penghasilan (PPh) dan pajak atas kekayaan (wealth tax). Pajak yang bersifat
progresif dapat membantu meningkatkan rasio pajak tanpa membebani kelompok
masyarakat berpenghasilan rendah.
4. Penguatan
Kebijakan Sosial untuk Mengimbangi Dampak Kenaikan PPN
Memberikan subsidi
atau bantuan sosial yang ditargetkan bagi masyarakat miskin untuk meringankan
dampak kenaikan tarif PPN. Kebijakan ini dapat membantu menjaga daya beli
masyarakat rentan sambil memastikan kebijakan fiskal tetap berjalan.
D. Landasan Kritis
PMII
1.
Prinsip Tauhid (Keislaman): Pajak sebagai Instrumen untuk Kemaslahatan Umat
Dalam Islam, konsep pajak dapat
dianalogikan dengan zakat, yang bertujuan untuk mendistribusikan kekayaan
secara adil dan membantu kelompok masyarakat yang kurang mampu. Ketimpangan
dalam kebijakan pajak bertentangan dengan prinsip keadilan sosial dalam Islam.
Kebijakan pajak yang regresif, seperti PPN, lebih membebani kelompok miskin
daripada orang kaya. Hal ini tidak mencerminkan semangat Islam untuk
mengutamakan kemaslahatan umat.
2.
Prinsip Kemandirian: Pengelolaan Pajak untuk Kepentingan Nasional
Dalam Islam dan nilai nasionalisme
PMII, kemandirian ekonomi adalah salah satu tujuan utama. Sistem pajak yang
efektif dan adil dapat membantu negara mencapai kemandirian fiskal.
Ketergantungan pemerintah pada pajak tidak langsung dan insentif pajak yang
hanya menguntungkan perusahaan besar menunjukkan bahwa sistem ini belum
memprioritaskan kemandirian nasional.
3.
Spirit Aswaja: Mengedepankan Moderasi dalam Kebijakan Pajak
Sebagai gerakan yang berlandaskan
Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja), PMII menekankan moderasi dan keseimbangan.
Kebijakan pajak harus mencerminkan keseimbangan antara kebutuhan negara dan
kesejahteraan rakyat. Sistem pajak yang
terlalu berat bagi masyarakat kecil menunjukkan ketidakseimbangan yang perlu
diperbaiki.
E. Kesimpulan
Strategi kebijakan
fiskal yang diterapkan pemerintah bertujuan untuk mempercepat pemulihan ekonomi
pasca pandemi Covid-19 dan meningkatkan rasio pajak nasional. Namun, kebijakan
kenaikan tarif PPN seharusnya tidak dijadikan satu-satunya instrumen untuk mencapai
tujuan tersebut, mengingat dampaknya yang regresif terhadap daya beli
masyarakat, terutama kelompok ekonomi bawah. Kebijakan ini perlu disertai
dengan langkah-langkah alternatif yang lebih inklusif dan berkeadilan, seperti
optimalisasi pajak penghasilan progresif, peningkatan kepatuhan pajak di
kalangan individu dan korporasi besar, serta pengurangan ketergantungan pada
pajak tidak langsung. Mengingat Indonesia juga menghadapi tantangan berupa
deflasi dalam beberapa bulan terakhir, yang menjadi indikator lemahnya daya
beli masyarakat, pemerintah harus lebih berhati-hati dalam merancang kebijakan
fiskal yang dapat menghidupkan kembali roda perekonomian tanpa menambah beban
bagi masyarakat yang rentan.
Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia (PMII) mendukung upaya pemerintah untuk meningkatkan pendapatan
negara demi tercapainya pembangunan yang berkelanjutan. Namun, kami menegaskan
bahwa kebijakan yang diambil, khususnya terkait dengan kenaikan tarif PPN
menjadi 12%, harus mempertimbangkan dampaknya secara menyeluruh, agar tidak
memberatkan masyarakat kecil. Keberlanjutan ekonomi harus berpijak pada prinsip
keadilan, di mana kebijakan fiskal tidak hanya mengutamakan penerimaan negara,
tetapi juga memastikan kesejahteraan rakyat.
PMII berkomitmen
untuk mengawal setiap langkah kebijakan pemerintah, dengan menuntut adanya
transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran negara, serta
memastikan kebijakan tersebut memperhatikan kebutuhan dan hak-hak masyarakat
yang paling terdampak. Kami percaya bahwa dengan dialog yang inklusif dan
kebijakan yang berkeadilan, pembangunan yang adil dan merata dapat tercapai
untuk seluruh lapisan masyarakat.
Referensi
Daftar Barang Mewah
yang Kini Kena PPN 12 Persen per 1 Januari 2025
5 Fakta PPN Naik
Jadi 12 Persen
Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2021 - Pusat Data Hukumonline
goodstats Dampak Kenaikan
PPN 12% di 2025 terhadap Pengeluaran Rumah Tangga
Kenaikan PPN 12 Persen:
Dampaknya ke Pengusaha Masyarakat
Kenaikan PPN Diprediksi
Tekan Konsumsi Rumah Tangga
Menilik Potensi Dampak
Kenaikan Ppn Menjadi 11 Persen Di Tengan Ketidakpastian Global