Oleh: Mariyatul Humaira
Bendahara Bidang Pariwisata PB KOPRI PMII
Jakarta-Gelombang demonstrasi di beberapa titik, yang dialamatkan ke DPR RI beberapa hari ini, kembali menunjukkan bahwa bara dalam ruang politik Indonesia belum pernah benar-benar padam. (30/08/2025)
Aksi yang digerakkan oleh enam tuntutan utama mulai dari penghapusan outsourcing, penolakan upah murah, hingga pengesahan RUU Perampasan Aset sejatinya merupakan teriakan kolektif rakyat kecil untuk sekadar mendapatkan keadilan yang paling dasar: perlindungan kerja, distribusi ekonomi, dan kepastian hukum.
Dengan demikian, demonstrasi yang hadir bukanlah sekadar kerumunan emosional, melainkan ekspresi politik yang berakar pada problem struktural.
Namun realitas jalanan selalu lebih rumit daripada daftar tuntutan. Demonstrasi yang bermula dengan intensi memperjuangkan hak justru berakhir dengan tragedi. Seorang pengemudi ojek online tewas setelah terlindas kendaraan taktis kepolisian; sementara di sisi lain, banyak aparat juga mengalami luka serius.
Ironisnya, narasi publik yang muncul sering kali timpang: luka aparat dipandang sebagai konsekuensi pekerjaan, sementara luka warga dianggap akibat tindakan anarkis.
Narasi semacam ini menunjukkan bias struktural dalam memandang hubungan negara dan rakyatnya.
Di sinilah letak persoalan mendasar: aparat dan demonstran seharusnya tidak pernah dibenturkan. Keduanya sama-sama menjalankan fungsi yang satu menjaga ketertiban, yang lain menyuarakan harapan.
Namun kenyataan di lapangan kerap menyeret mereka dalam posisi saling berhadapan, seolah-olah musuh, padahal mereka hanya pion dalam permainan besar.
Seperti papan catur yang diguncang, bidak-bidak kecil ini diacak-acak agar arah geraknya kehilangan tujuan.
Aksi demonstrasi yang semula berangkat dari tuntutan ekonomi perlahan menjelma menjadi kerusuhan. Ketika situasi kehilangan kendali, muncul tindakan-tindakan yang merugikan masyarakat sendiri: penjarahan di beberapa titik hingga pembakaran transportasi umum. Kedua hal ini tidak hanya menjauhkan dari tujuan awal, tetapi juga menimbulkan rasa takut yang semakin meluas.
Lebih jauh, mencuat pula dugaan kuat adanya infiltrasi aktor-aktor bayaran yang sengaja memperkeruh keadaan. Hal ini membuat arah perjuangan semakin kabur dan memberi ruang bagi DPR RI yang semula menjadi alamat tuntutan untuk mencuci tangan, sementara Istana didorong ke posisi terdakwa. Pada akhirnya, yang mengemuka bukan lagi substansi tuntutan rakyat, melainkan stigma anarki.
Kekacauan yang lahir dari demonstrasi semacam ini sebenarnya bukan fenomena baru. Pola gelap seperti ini telah lama mewarnai perjalanan politik negeri ini. Demonstrasi yang semula menyuarakan kepentingan konkret, tiba-tiba melebar menjadi isu politik yang lebih besar.
Kita pernah menyaksikannya pada 1998, ketika tuntutan reformasi ekonomi melebar menjadi desakan turunnya Soeharto.
Kita juga melihatnya pada masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ketika kritik kebijakan menjelma jadi gerakan pelengseran.
Kini, pola itu kembali terasa: tuntutan rakyat dikaburkan, aksi massa disusupi, dan korban kemanusiaan dijadikan bahan bakar legitimasi politik. Dalam permainan semacam ini, rakyat tak lebih dari pion yang mudah dikorbankan, sementara sutradara sebenarnya tetap tersembunyi.
Ah, negeriku. Sejarah seakan hanya berganti kostum, tetapi lakonnya tetap sama: kerusuhan yang merampas harapan, komunikasi politik hitam yang mencari korban, dan rakyat yang selalu membayar harga paling mahal. Jika pola ini terus berulang, bangsa ini hanya akan berjalan dalam lingkaran sengsara. Karena itu, tragedi ini harus dibaca sebagai alarm keras bagi pemerintah maupun rakyat.
Pemerintah perlu berani menatap dirinya kembali: apakah masih berdiri sebagai kepanjangan tangan rakyat, atau telah larut dalam kepentingan sempit penguasa. Ketegasan negara mesti hadir tapi untuk menjaga hak-hak rakyat, bukan menekannya.
Di sisi lain, rakyat pun harus teguh menjaga arah. Tuntutan awal upah layak, keadilan ekonomi, kepastian hukum jangan dibiarkan tenggelam oleh infiltrasi yang mengaburkan perjuangan. Persoalan kemanusiaan adalah fondasi, dan hanya dengan strategi yang jernih perjuangan bisa bertahan dari permainan gelap yang berulang.
Alfatihah untuk mereka yang gugur. Semoga pengorbanan itu menjadi pengingat, bahwa darah rakyat tidak boleh terus-menerus jadi tumbal politik, melainkan penanda jalan menuju keadilan yang nyata.