Jakarta, PMII.ID-Pemantau Pemilu Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) menjelaskan bahwa Pemilu 2024 seperti yang kita ketahui baik proses tahapan dan pelaksanaannya sangat kompleks, dinamis dan menantang. Hal tersebut dapat dilihat dari aspek kelembagaan, pelaksanaan dan pengawasan.
“Salah satu tahapan penting dan isu krusial yang harus menjadi atensi bersama yakni terkait akurasi data pemilih,” jelas Hasnu Ibrahim Koordinator Nasional Pemantau Pemilu PB PMII pada Senin (17/07/2023) sore pada acara diskusi media di Kantor Bawaslu RI, Jalan Thamrin, Jakarta Pusat.
Menurut Hasnu, Pemilu 2024 menjadi sebuah sejarah baru bagi ketatanegaraan Indonesia, sebab akan dilaksanakan pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/kota dan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota pada tahun yang sama.
“Sukses Pemilu dan Pemilihan Serentak tahun 2024 mendatang, penyelenggara pemilu (KPU - Bawaslu) harus belajar dari pengalaman pelaksanaan pemilu 2019 yakni terjadi masalah terkait hak pilih, secara khusus jaminan hak memilih belum tuntas. Hak memilih ini kerap menjadi dalil di ujung tahapan yang diperkarakan di Mahkamah Konstitusi pada akhirnya menyebabkan konflik sosial dan mengancam stabilitas politik nasional,” ujar Hasnu.
Hasnu juga mengkritisi terkait tahapan proses, multi aktor dan regulasi yang dinilai terlalu kaku dalam menjamin hak pilih rakyat. Ia mengungkapkan, aspek administrasi kependudukan di sana ada Direktorat Jenderal (Ditjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri yang memiliki otoritas dalam menghasilkan data kependudukan.
Hasnu melanjutkan, proses tersebut bukan saja berhenti di Mendagri dan Dukcapil tetapi kemudian diolah menjadi daftar penduduk potensial pemilih pemilihan (DP4) untuk selanjutnya diserahkan ke KPU Republik Indonesia, KPU melakukan sinkronisasi data DP4 dengan data WNI di luar negeri, DP4 hasil sinkronisasi lalu disandingkan dengan DPT Pemilu terakhir.
Selanjutnya, kata Hasnu, data tersebut dari KPU RI diberikan ke KPU Provinsi/kab/kota untuk dilakukan pencocokan dan penelian. Prosesnya masih banyak , siklus atas bawah sampai dengan kemudian kita bisa membedakan antara data penduduk dan data pemilih.
“Akurasi data pemilih penting kemudian multi aktor seperti Kemendagri, Dukcapil dan KPU agar melalukan perbaikan, seragam dan kompak dalam menafsirkan regulasi. Dan harus didorong melalui semangat pengabdian bagi rakyat secara kuat, bukan malah problem data kependudukan dan data pemilih seolah-olah sengaja dibiarkan agar terus bermasalah karena kuat diduga menjadi bancakan proyek,” jelas Hasnu.
Hasnu juga mengungkapkan terkait akar masalah data pemilih. Berdasarkan pemantaun kami, Akar Persoalan Data Pemilih terpetakan dalam dua kategori, pertama, proses pendataan kependudukan yang tidak akurat sebelumnya, sehingga terbawa dan terakumulasi menjadi problem data pemilih dalam ruang pemilu. Misalkan sistem yang tidak cukup dinamis mengikuti dinamika kependudukan, prosedur yang panjang, perubahan status atau karakter identitas kependudukan dari kartu tanda penduduk (KTP) lokal ke KTP nasional, lalu menjadi KTP elektronik dan kemudian berlaku seumur hidup.
Kedua, jelas Hasnu, problem internal pendataan data pemilih itu sendiri. Misalkan sistem pemutakhiran data yang mengalami reduksi fungsi akibat basis regulasi, human error dan skill yang tidak tersertifikasi, koordinasi antar institusi yang terkesan saling adu data tanpa sinkronisasi yang utuh, perangkat aplikasi pendukung seperti SIDALIH yang tidak representatif, dan pengawasan secara internal yang cenderung formalitas ketimbang substansial. Belum lagi partisipasi pemilih untuk melengkapi dan memvalidasi data pemilih yang rendah.
Dengan demikian, kata Hasnu, persoalan ini menambah panjang dalam akurasi data pemilih. Sehingga pada akhirnya berdampak terhadap kerugian hak konstitusional warga negara Indonesia dalam menentukan kepemimpinan politik nasional dan local pada pemilu dan pemilihan serentak tahun 2024 karena tidak memenuhi syarat (TMS) sebagai pemilih.
Pemantau Pemilu PB PMII, lanjut Hasnu, mendesak Kemendagri, Dukcapil dan KPU agar komit dan jujur dalam mempertanggungjawabkan hak pilih public agar terjamin dalam pemilu 2024.
Kemudian, Pemantau Pemilu PB PMII juga, kata Hasnu, mendesak Kemendagri dan KPU agar mendesain kebijakan payung yang dapat meretas atau memangkas proses, multi aktor dan regulasi yang rumit, kaku dan kompleks tersebut, kemudian mendorong kebijakan pendataan kependudukan dan data pemilih yang inklusif dan menindaklanjuti temuan pemantau pemilu soal sejumlah isu krusial dalam perbaikan Daftar Pemilih Tetap Hasil Perbaikan Sementara (DPTHPS) sebelum pelaksanaan pemilu 2024.