PMII.ID - Polemik kuota haji 2023–2024 kembali memanas setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami dugaan korupsi dalam pembagian kuota tambahan. Ketua Bidang Kesekretariatan dan Pengelolaan Aset Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII), Akhlis Aulia Rahim, menegaskan bahwa masalah ini bukan sekadar persoalan teknis, tetapi menyangkut integritas negara dan hak jutaan calon jemaah haji.
Kementerian Agama di bawah kepemimpinan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan SK No. 130/2024 pada 15 Januari 2024 yang mengatur pembagian tambahan 20.000 kuota haji hasil kesepakatan bilateral Presiden Joko Widodo dengan Putra Mahkota Arab Saudi. Namun, pembagian kuota 50:50 antara haji reguler dan haji khusus dianggap melanggar ketentuan UU No. 8/2019 yang menetapkan porsi haji khusus maksimal hanya 8 persen.
KPK menduga terjadi kerugian negara lebih dari Rp1 triliun akibat pengaturan ini. Sejumlah pejabat telah diperiksa, penggeledahan dilakukan, bahkan pencekalan terhadap beberapa pihak termasuk mantan menteri telah diterbitkan.
“Ini bukan hanya soal pembagian kuota, tetapi soal kepercayaan publik. Haji adalah ibadah suci, tidak boleh dijadikan ajang permainan kuasa dan keuntungan segelintir pihak,” tegas Akhlis.
Ia juga mempertanyakan keterlibatan Presiden Joko Widodo dalam kebijakan yang menimbulkan kontroversi ini.
“Apakah Presiden mengetahui atau menyetujui pembagian kuota yang bertentangan dengan undang-undang? Publik berhak tahu siapa yang memberi perintah dan siapa yang mengambil keuntungan,” ujarnya.
PB PMII menuntut audit total terhadap aliran dana kuota haji, pemeriksaan menyeluruh terhadap BPKH, Dirjen PHU, asosiasi penyelenggara haji, dan biro travel yang mendapatkan kuota. Transparansi juga menjadi tuntutan utama.
“Dokumen dasar SK, daftar penerima kuota, nilai keuntungan, semua harus dibuka untuk publik. DPR wajib memanggil pihak terkait bila ditemukan penyimpangan serius,” tambah Akhlis.
Tak hanya itu, PMII juga mendesak penelusuran kemungkinan keterlibatan pejabat tinggi, termasuk Presiden, serta merekomendasikan revisi aturan penyelenggaraan haji agar peluang manipulasi serupa tidak terulang.
“Kita butuh mekanisme pembagian kuota yang lebih ketat, audit internal dan eksternal yang wajib, serta sanksi tegas bagi pelanggar,” tegasnya.
Akhirnya, Akhlis mengingatkan bahwa kasus ini adalah ujian bagi negara. “Jika hukum hanya menyentuh pihak-pihak kecil tanpa mengungkap dalang utama, kepercayaan publik akan semakin terkikis. Kita tidak boleh membiarkan ini berlalu tanpa kejelasan,” tutupnya.