Oleh: Aji Muhammad Iqbal
(Pengurus Lembaga Jurnalistik PB PMII)
Jakarta, pmii.id--Sinyal politik dari Presiden Prabowo Subianto membentuk tim reformasi kepolisian setelah bertemu para tokoh Gerakan Nurani Bangsa (GNB) di Istana Negara pada Kamis, 11 September 2025 memberi secercah harapan.
Desakan itu muncul dari akumulasi kegelisahan publik atas watak koersif kepolisian. “Tsunami demonstrasi” akhir Agustus lalu, misalnya, menjadi bukti betapa telanjangnya represifitas aparat.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melaporkan 1.042 orang dilarikan ke rumah sakit, 10 tewas, dan 3.337 orang ditangkap. Salah satunya adalah Affan Kurniawan, pengemudi ojek online, meninggal setelah dilindas kendaraan taktis Brimob pada 28 Agustus 2025.
Namun, seberapa serius agenda pembenahan institusi Polri ini? Ataukah hanya “nggedabrus” seperti reformasi setengah hati sebelumnya?
Reformasi Mandek
Reformasi Polri sebenarnya bukanlah hal baru. Pemisahan Polri dari militer melalui TAP MPR No. VI dan VII Tahun 2000 menjadi “starting point”, menandai bergulirnya semangat pembenahan. Karena sebelumnya, Polri berada di bawah kendali ABRI, sehingga kerap terjebak dalam politik kekuasaan dan praktik militeristik yang mengekang independensi lembaga.
Semangat ini kemudian diejawantahkan dengan hadirnya Undang-undang nomor 2 tahun 2002 (UU Polri). Polri kemudian meluncurkan Renstra 25 Tahun: membangun kepercayaan (2005–2010), membangun kemitraan (2011–2015), dan membangun keunggulan (2016–2025).
Tak bisa dipungkiri, Polri juga mencatat sejumlah capaian penting pasca reformasi. Mulai dari perannya dalam menangani pandemi COVID-19 hingga mendukung program Pemulihan Ekonomi Nasional.
Berbagai satgas juga dibentuk untuk menjawab kebutuhan masyarakat, seperti Satgas Tipikor, TPPO, Anti Begal, Pengamanan Mudik Lebaran, hingga Ketahanan Pangan. Upaya pembenahan institusi pun terus dilakukan, tercermin dari berbagai slogan yang diusung, dari “Polri Sahabat Masyarakat” hingga yang terbaru di era Jenderal Listyo Sigit Prabowo, “Presisi”.
Namun dua dekade lebih pasca 1998, perjalanan reformasi polri tampaknya macet di tengah jalan. Kini, untuk sampai pada cita-cita reformasi pun harus menempuh jalan yang berlubang, terjal dan berliku.
Sebab, Polri tengah menghadapi krisis legitimasi serius. Survei Civil Society for Police Watch Februari lalu menunjukkan tingkat kepercayaan hanya 48,1 persen.
Survei IPO Mei 2025 lebih rendah, 46,6 persen. LSI memang mencatat angka lebih tinggi, sekitar 71 persen, tapi tetap menempatkan Polri di posisi terbawah dibanding lembaga penegak hukum lain.
Problem Struktural
Krisis legitimasi Polri bukan sekadar persoalan oknum, melainkan problem struktural yang menjalar dari hulu ke hilir. Sejak rekrutmen yang sarat kolusi hingga kultur internal yang represif.
Investigasi Tempo 2019 berjudul “Tradisi Brutal di Akademi Polisi” membongkar bagaimana kekerasan masih diwariskan sebagai tradisi pendidikan Polri.
Penelitian Brigjen Pol. Farouk Muhammad (1998) menemukan 60 persen dari 270 responden masuk polisi lewat jalur tidak wajar: sogok, koneksi, dan nepotisme.
KontraS mencatat 602 kasus kekerasan oleh Polri sepanjang Juli 2024–Juni 2025, mayoritas penembakan dengan 411 peristiwa. Terdapat 38 kasus penyiksaan dan 37 kasus extrajudicial killing. Fakta ini menunjukkan kultur kekerasan masih mengakar.
Di sisi lain, Polri juga terjerat dalam “ekonomi gelap” institusional: setoran jabatan, bisnis keamanan, hingga relasi dengan oligarki. Inilah mengapa reformasi sering mandek, ada “vested interest” yang menikmati status quo.
Jalan Mundur
Entah mengapa, di tengah krisis akut, RUU Polri yang diinisiasi DPR justru jauh dari semangat reformasi. Apalagi RUU tersebut sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025. Alih-alih memperkuat pengawasan dan perlindungan HAM, draf ini menambah tumpukan kewenangan baru.
Polri diposisikan sebagai institusi “superbody” yang rakus kuasa, tanpa mekanisme kontrol yang ketat. Celah impunitas terbuka, sementara risiko Polri menjadi alat politik penguasa makin besar.
Maka, agar RUU Polri tidak menjadi jalan mundur reformasi, DPR harus melibatkan masyarakat sipil dalam pembahasan. Kehadiran akademisi, lembaga HAM, dan organisasi masyarakat akan memberi catatan kritis dan memastikan RUU diarahkan pada hal semestinya.
Momentum Perbaikan
Karena itu, sinyal positif dari Presiden Prabowo harus dimaknai sebagai momentum perbaikan. Ada beberapa langkah yang mendesak: Pertama, dibentuknya komisi pengawas internal dan eksternal Polri yang melibatkan akademisi, lembaga HAM, jurnalis, dan organisasi masyarakat sipil. Hal ini mengingat peran dari Propam dan Kompolnas masih lemah dan belum efektif.
Tantangan terbesarnya adalah bagaimana merancang lembaga pengawas yang benar-benar bebas dari kooptasi politik, sekaligus diakui legitimasinya oleh Polri sendiri.
Kedua, reformasi pendidikan dan kultur kepolisian. Akademi Polri harus meninggalkan tradisi kekerasan, menekankan integritas dan pelayanan publik. Meskipun tantangan terbesarnya adalah melawan budaya senioritas dan militeristik yang sudah mengakar.
Ketiga, seleksi jabatan berbasis meritokrasi dan audit publik atas penggunaan anggaran untuk menghapus praktik setoran dan rente institusional. Seleksi berbasis meritokrasi sulit ditegakkan jika praktik setoran jabatan dan patronase politik masih berlangsung. Perlu komitmen kuat dari presiden dan DPR agar pembersihan rente berjalan konsisten, tidak berhenti di level wacana.
Akhir kata, reformasi Polri bukan hanya soal mengubah undang-undang dan pergantian Kapolri, tapi juga soal membongkar kultur kekerasan, menghapus rente jabatan, dan mengembalikan Polri pada khitahnya sebagai pelindung rakyat.