Penulis: Mochammad Mahfudz (Ketua PB PMII Bidang Siber dan Sandi Negara)
PMII.ID - Sudah delapan puluh tahun Indonesia merdeka. Setiap tanggal 17 Agustus, kita memperingati detik detik proklamasi dengan semangat, upacara, dan refleksi. Kita mengenang perjuangan para pahlawan yang telah mengorbankan jiwa dan raga untuk melepaskan bangsa ini dari penjajahan. Namun, dalam hati saya sering bertanya: apakah kita benar-benar sudah merdeka bukan hanya secara sosial, budaya, ekonomi dan politik, tetapi juga secara digital? Dalam perenungan saya sebagai Ketua Bidang Cyber PB PMII, saya menyadari bahwa kemerdekaan hari ini tidak lagi hanya berbicara soal penjajahan fisik. Di era digital, bentuk penjajahan baru hadir secara senyap namun sangat berbahaya yaitu penjajahan siber.
Kemerdekaan seharusnya bermakna lebih dari sekadar lepas dari kolonialisme asing. Dalam konteks zaman sekarang, di tengah derasnya arus teknologi dan digitalisasi, saya percaya kemerdekaan juga berarti kebebasan beraktivitas di dunia digital secara aman, tanpa rasa takut akan pencurian data, penyalahgunaan identitas, atau ancaman siber lainnya. Sayangnya, kenyataan belum seideal itu.
Menurut laporan dari We Are Social dan Hootsuite tahun 2025, pengguna internet di Indonesia telah mencapai sekitar 223 juta orang, atau lebih dari 80% populasi. Kita adalah salah satu negara dengan pertumbuhan digital tercepat di dunia. Di satu sisi, ini adalah prestasi luar biasa. Dunia digital membuka banyak peluang: pendidikan online, UMKM berbasis digital, layanan publik yang lebih cepat, hingga koneksi sosial yang lebih luas. Tapi di sisi lain, dunia digital juga membawa tantangan yang tidak kalah serius salah satunya adalah kejahatan siber (cyber crime).
Sepanjang tahun 2024 hingga 2025 Indonesia mengalami gelombang serangan siber yang begitu masif. Beberapa di antaranya menargetkan lembaga-lembaga vital negara. Kita semua tentu masih ingat bagaimana Pusat Data Nasional (PDN) lumpuh total karena serangan ransomware Brain Cipher, yang melumpuhkan lebih dari 282 layanan publik. Serangan ini bukan sekadar gangguan teknis ini adalah serangan terhadap sistem kepercayaan publik dan kedaulatan negara.
Tak lama sebelumnya, PT KAI diserang, dan data ribuan pelanggan bocor ke tangan peretas asing. Bahkan Badan Kepegawaian Negara (BKN) tak luput: jutaan data pegawai negeri dijual bebas di pasar gelap (black market). Belum lagi kasus Indodax dan DJP yang menjadi sasaran empuk pencurian data dan uang digital.
Berdasarkan data dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), sepanjang tahun 2024, terdapat lebih dari 400 juta anomali trafik siber yang terdeteksi. Jumlah ini meningkat signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Serangan-serangan ini mencakup banyak hal: phishing, ransomware, defacing website pemerintah, hingga pembobolan data pribadi yang sangat sensitif. Salah satu kasus yang masih hangat di benak saya adalah kebocoran data BPJS kesehatan, yang diduga menyangkut data pribadi lebih dari 200 juta warga Indonesia. Sebagai peserta BPJS, saya pun merasa terancam. Apakah data saya aman? Siapa yang bertanggung jawab? Ini bukan hanya soal teknis IT, tapi menyangkut hak privasi setiap warga negara.
Saya pribadi merasa bahwa kita belum sepenuhnya merdeka di dunia digital. Kita masih “dijajah” oleh ancaman-ancaman yang tidak kasat mata. Penjahatnya bukan berseragam militer atau membawa senjata, melainkan mungkin hanya berbekal laptop dan koneksi internet. Mereka bisa saja di uar negeri, namun akibatnya nyata: pencurian uang, penipuan online, pencemaran nama baik, bahkan potensi kerusakan reputasi negara.
Lebih mengkhawatirkan lagi, banyak masyarakat kita yang masih belum cukup paham bagaimana cara melindungi diri di dunia digital. Berdasarkan survei oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada 2024, tingkat literasi digital masyarakat Indonesia masih berada di kategori sedang, dengan skor rata-rata nasional 3,49 dari 5. Artinya, masih banyak yang mudah tertipu oleh tautan palsu, membagikan data pribadi sembarangan, atau tidak sadar risiko mengunggah informasi terlalu banyak ke media sosial.
Menurut saya, kemerdekaan digital yang sejati adalah ketika negara dan rakyatnya bisa berdiri sejajar dalam dunia maya: bebas, aman, dan berdaulat atas data serta sistem digitalnya. Negara harus hadir, tidak hanya dengan undang-undang seperti UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), tapi juga dengan penegakan hukum yang nyata dan transparan. Penjahat digital harus bisa dilacak dan dihukum, tidak peduli mereka bersembunyi di balik VPN atau server luar negeri.
Namun, tanggung jawab tidak bisa dibebankan kepada pemerintah semata. Kita, masyarakat, juga harus berbenah. Edukasi literasi digital harus dimulai sejak dini di sekolah, di rumah, bahkan di komunitas-komunitas lokal. Kita harus belajar mengenali tanda-tanda penipuan digital, memahami pentingnya kata sandi yang kuat, hingga menyadari bahwa jejak digital bisa bertahan selamanya.
Sebagai generasi yang lahir di era reformasi dan tumbuh bersama internet, saya melihat bahwa makna kemerdekaan telah bergeser. Dulu kita melawan penjajah dengan bambu runcing. Hari ini, kita berperang di dunia siber dengan firewall, enkripsi, dan edukasi digital. Semangatnya tetap sama: mempertahankan kedaulatan, melindungi rakyat, dan membangun masa depan yang lebih baik.
Kemerdekaan digital dimensi baru dari kedaulatan bangsa, Jika kita merenungi hakikat kemerdekaan, maka kemerdekaan digital semestinya menjadi bagian penting dari narasi kebangsaan hari ini. Kita tidak bisa mengklaim sepenuhnya merdeka jika data rakyat dicuri, sistem pemerintah bisa dilumpuhkan oleh peretas, dan opini publik dikendalikan oleh disinformasi dari luar.
Sebagai kader PMII yang bergerak di bidang cyber, saya melihat ini bukan hanya persoalan teknis, tapi juga persoalan ideologis dan nasionalis. Ancaman siber adalah ancaman terhadap daulat rakyat, keamanan nasional, dan integritas negara. Maka sudah sepatutnya kita menjadikan keamanan siber sebagai bagian dari agenda perjuangan bangsa.
PMII dan tanggung jawab kaum muda, PMII sebagai organisasi kaderisasi dan pergerakan, memiliki tanggung jawab moral dan strategis untuk ikut andil dalam menjaga ruang digital bangsa. tidak cukup hanya dengan menyuarakan kritik, kita harus menjadi bagian dari solusi.
Literasi digital harus diperkuat di akar rumput. Kader-kader muda harus dibekali dengan pengetahuan keamanan digital, etika bermedia, serta kemampuan untuk melindungi diri dan lingkungannya dari bahaya siber. Tidak boleh ada lagi sikap masa bodoh terhadap teknologi karena hari ini, ancaman tidak datang dengan peluru, tapi dengan kode.
PMII harus hadir bukan hanya di ruang fisik, tetapi juga mengisi ruang digital dengan narasi yang sehat, cerdas, dan membebaskan. Kemerdekaan bukanlah perayaan tahunan yang berhenti pada upacara dan jargon. Kemerdekaan adalah tanggung jawab yang harus terus dijaga dan diperbarui termasuk di ruang digital yang kini menjadi wajah baru dari peradaban kita.
Maka, Hari Kemerdekaan ini adalah panggilan bagi kita semua: Mari lindungi bangsa ini tidak hanya dari ancaman luar yang terlihat, tetapi juga dari serangan digital yang tak kasat mata, Mari kita isi kemerdekaan dengan kerja nyata: mencerdaskan, melindungi, dan membebaskan ruang siber Indonesia dari tangan-tangan jahat yang ingin menjarah kedaulatan kita.
Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-80, saya mengajak kita semua untuk merefleksikan satu hal penting: apakah kita sudah benar-benar merdeka di dunia digital? Jika belum, maka perjuangan belum selesai. Mari kita lanjutkan perjuangan itu bukan di medan perang, tapi di ruang digital demi masa depan bangsa yang berdaulat, rakyat sejahtera indoneisa maju.