Oleh: Ahmad Latif (Ketua PB PMII Bidang Advokasi Kebijakan Publik)
Sebelum melihat kearah yang lebih jauh tentu kita perlu melihat lebih detail dan jelas bagaimana presiden Jokowi memimpin dan membangun bangsa ini. Pada tahun 2019 lalu terjadi sebuah hal yang sangat mencengangkan bangsa Indonesia, bertahun-tahun arah perjuangan reformasi membangun pemerintahan yang bersih, adil dan transparan terkhianati oleh Pemerintah dan DPR dengan dibentuknya Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru.
Sebelum itu, Pemberantasan korupsi dalam setahun terakhir layak diberikan rapor merah hal ini disebabkan oleh beberapa hal, Pertama, lumpuhnya KPK akibat revisi UU KPK yang dilakukan oleh Presiden Jokowi dan parlemen. UU KPK ini menjadikan KPK tidak lagi independen karena adanya peluang campur tangan pemerintah di kinerja lembaga anti-suap ini. Kedua, terpilihnya Firli Bahuri sebagai Ketua KPK. Meski terpilih melalui panitia seleksi, Firli dianggap belum mampu menjadikan KPK kuat karena dianggap sangat dekat dengan istana. Ketiga, dalam kasus korupsi terakhir seperti Mantan Menteri Sosial tidak mencerminkan sebuah hukum yang adil dalam keputusannya.
Hal yang aneh adalah dalam kasus Julia P Batubara diringankan hukumannya karena berbuat baik. Kasus tersebut telah menjadi sebuah contoh yang sangat dahsyat bahwa hukum tidak adil dan tajam ke bawah tumpul ke atas. Padahal kasus yang dilakukan oleh dia ketika negara sedang dalam kondisi bencana nasional yang menurut mantan Hakim Mahkamah Agung Artidjo Alkotsar dapat dihukum mati.
Alih-alih Jokowi pro rakyat sebagaimana yang selalu didengungkan, contoh nyata adalah Undang-undang Cipta Lapangan Kerja ataupun Omnibuslaw yang sama sekali tidak pro rakyat ataupun menguntungkan rakyat. Kalau kita melihat kondisi ini persis seperti keluarga romanov yang ada di rusia membangun sebuah kanal kapitalis besar yang merugikan rakyatnya.
Padahal dalam Program Starategis Nasional Pemerataan Ekonomi menjadi hal yang sangat peting dan menjadi fokus pembangunan pemerintah sebagaimana yang tertuang dalam alam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional, Salah satu yang saya garis bawahi adalah Reformasi Agraria.
Sejak peristiwa Kendeng yang sudah digaungkan oleh residen Jokowi bahkan setelah itu terus terjadi penyerobotan lahan atau pengambil paksa lahan seperti di Majalengka serta kasus besar yang menampar Ibu Pertiwi kali ini adalah Desa Wadas. Alih-alih melindungi warganya Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah saling bekerjasama memerankan sebuah drama tragikomedi, saling lempar bola liar untuk mengamankan badan dan menggunakan tindakan represif aparat untuk memaksa warga agar kepentingan pembangunan dalam tanda kutip kepentingan pihak-pihak segera terpenuhi.
Disatu sisi pembangunan Ibu Kota Negara yang digadang-gadangkan menjadi legitimasi pemerintah Jokowi yang super power harus memakan biaya yang sangat fantastis. Bahkan subsidi-subsidi seperti BBM, Listrik dan lainnya dicabut oleh pemerintah karena untuk mendanai proyek IKN. Padahal dampak dari pencabutan subsidi membuat kestabilan harga pokok menjadi dinamis alhasil banyak kelangkaan minyak, kebutuhan pokok menjadi mahal dan berdampak pula ke harga sewa transportasi yang semakin tinggi.
Kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah membuat efektivitas pemulihan ekonomi nasional menjadi terhambat. Kalau kita analogikan sebagai kapal yang sedang berlayar di tengah laut, disaat kapal dilanda badai nahkoda malah menurunkan kapal kecil yang membuat para awak kapal dan penumpang tenggelam.
Kondisi tersebut diperparah oleh suara yang sangat kencang dari parlemen dan elite politik yang sedang menerobos serta menistai konstitusi dengan penambahan masa jabatan Presiden. Padahal dengan lantang konstitusi kita telah menjelaskan bahwa periode masa jabatan adalah dua periode, namun para elite politik mungkin terlalu haus kekuasaan jadi ingin menambah masa jabatan. Jika memang demikian kenapa harus memperkosa konstitusi yang sudah dibangun dan disepakati dengan kemajemukan bangsa ini. Dalam kondisi yang seperti ini, generasi muda sebagai calon penerus bangsa harus melek dan sadar bahwa bangsa kita saat ini sedang tidak baik-baik saja. Sebagai social control generasi muda harus berani katakan tidak untuk Jokowi dan Para keroconya yang membuat kerusakan di bumi ibu pertiwi