Krisis Harga Minyak di Indonesia: Antara Pasar, Oligarki, dan Kebijakan Yang Gagal

Pendahuluan

Kenaikan harga minyak goreng belakangan ini telah menimbulkan kekhawatiran yang signifikan di kalangan masyarakat Indonesia. Di berbagai daerah, harga komoditas ini mengalami lonjakan yang memberatkan, terutama bagi rumah tangga dan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang sangat bergantung pada minyak goreng dalam aktivitas sehari-hari. Sebagai contoh, di Provinsi Lampung, harga minyak goreng telah mencapai Rp18.000 hingga hampir Rp20.000 per liter, memberikan tekanan ekonomi yang nyata bagi masyarakat setempat.

Data dari Badan Pangan Nasional menunjukkan bahwa tren kenaikan harga minyak goreng telah berlangsung selama beberapa bulan terakhir. Pada April 2024, rata-rata harga minyak goreng curah nasional mencapai Rp15.910 per liter, meningkat 1,3% dibandingkan bulan sebelumnya dan naik 6,1% secara tahunan. Kenaikan ini menandai rekor tertinggi setidaknya sejak Januari 2023. Kondisi ini tidak hanya berdampak pada konsumen rumah tangga, tetapi juga pada UMKM yang sudah berjuang menghadapi tantangan ekonomi pascapandemi. Kenaikan harga minyak goreng menambah beban biaya produksi bagi para pelaku usaha kecil, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi harga jual produk mereka dan daya saing di pasar.

Berbagai pihak mencoba memberikan respon terhadap masalah tersebut baik dari kalangan pemerintah, dan juga masyarakat. Salahsatunya, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Chusnunia Chalim, yang mendesak pemerintah untuk segera mengambil tindakan nyata. Beliau menekankan perlunya intervensi pasar guna mencegah spekulasi dan memastikan ketersediaan stok minyak goreng dengan harga terjangkau. Menurutnya, langkah ini penting untuk melindungi konsumen dan pelaku UMKM dari dampak negatif kenaikan harga yang tidak terkendali.

Secara keseluruhan, kenaikan harga minyak goreng merupakan isu kompleks yang memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak. Diperlukan sinergi antara pemerintah, legislatif, dan pemangku kepentingan lainnya untuk mencari solusi yang efektif dan berkelanjutan, guna memastikan stabilitas harga dan ketersediaan komoditas penting ini bagi seluruh lapisan masyarakat.

Kenaikan harga minyak, baik minyak goreng maupun bahan bakar minyak (BBM), bukan sekadar fenomena ekonomi biasa. Ini adalah cermin dari masalah struktural yang lebih dalam: kegagalan negara dalam melindungi kepentingan rakyat, dominasi oligarki dalam sektor energi dan pangan, serta lemahnya penegakan hukum terhadap mafia minyak yang terus mengeruk keuntungan di tengah penderitaan masyarakat.

Setiap kali harga minyak melonjak, narasi yang selalu didaur ulang oleh pemerintah adalah fluktuasi harga global, ketidakstabilan geopolitik, atau perubahan permintaan dan pasokan di pasar internasional. Namun, di balik alasan-alasan ini, ada realitas yang lebih pahit: kebijakan energi yang tidak berpihak pada rakyat, permainan para konglomerat dalam industri sawit dan migas, serta ketidakmampuan pemerintah dalam memastikan distribusi minyak yang adil dan harga yang stabil.

Krisis minyak yang berulang bukanlah kebetulan. Ini adalah akibat dari sistem ekonomi yang memberi ruang besar bagi kepentingan segelintir elite untuk mendominasi sektor vital yang seharusnya dikelola demi kesejahteraan rakyat. Harga minyak naik bukan hanya karena faktor eksternal, tetapi juga karena kesengajaan dan kelalaian sistematis yang dibiarkan terus berlangsung.

Menyikapi masalah tersebut, Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) tidak tinggal diam. Melalui bidang perdagangan yang di ketutai oleh Dedy Indra Prayoga, PMII mencoba memberikan analisis baik yang berkaitan dengan latar belakang, kebijakan, permainan oligarki, dampak bagi masyarakat serta beberapa tawaran solusi yang nantinya diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap pemecahan kasus di atas.

Faktor Penyebab Kenaikan Harga Minyak

1. Kebijakan Energi yang Tidak Berpihak pada Rakyat

Pemerintah menerapkan berbagai kebijakan yang secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan lonjakan harga minyak. Salah satu kebijakan yang paling kontroversial adalah mandatori biodiesel (B35 dan B40), yang mendorong penggunaan minyak sawit untuk bahan bakar. Kebijakan ini memang menguntungkan industri biodiesel yang dikuasai oleh segelintir konglomerat, tetapi berdampak buruk pada ketersediaan minyak goreng bagi rakyat. Dengan permintaan minyak sawit yang meningkat untuk biodiesel, pasokan minyak goreng di dalam negeri berkurang, sehingga harga melonjak.

Selain itu, kebijakan subsidi BBM yang tidak tepat sasaran memperburuk situasi. Data menunjukkan bahwa 60-70% subsidi BBM justru dinikmati oleh kelompok menengah ke atas, sementara rakyat kecil tetap kesulitan mengakses BBM murah. Bukannya mereformasi skema subsidi agar lebih adil, pemerintah justru terus menaikkan harga BBM dengan alasan fluktuasi harga minyak dunia, padahal margin keuntungan Pertamina tetap tinggi.

2. Dominasi Oligarki dan Monopoli Industri

Industri minyak di Indonesia dikuasai oleh segelintir elit yang memiliki kendali besar atas produksi, distribusi, dan harga. Dalam sektor minyak sawit, hanya segelintir perusahaan besar seperti Wilmar, Musim Mas, dan Sinar Mas yang menguasai pasar. Mereka dapat dengan mudah mengontrol pasokan dan harga, bahkan melakukan praktik kartel untuk menaikkan harga minyak goreng secara bersamaan.

Hal yang sama terjadi dalam industri BBM. Meskipun Indonesia memiliki cadangan minyak sendiri, kita tetap mengimpor minyak mentah dan BBM dari luar negeri dengan harga yang lebih mahal. Jaringan rente dalam impor minyak telah lama menjadi rahasia umum, di mana mafia minyak bermain di tengah rantai pasok untuk mendapatkan keuntungan besar dengan cara yang merugikan negara.

3. Lemahnya Pengawasan dan Penegakan Hukum terhadap Mafia Minyak

Praktik mafia minyak telah lama menjadi persoalan di Indonesia. Mafia ini beroperasi di berbagai level, mulai dari penimbunan minyak goreng, penyelundupan minyak sawit ke luar negeri, hingga permainan harga dalam impor BBM. Misalnya, kasus penyelundupan minyak sawit yang terus terjadi menunjukkan bahwa pengawasan pemerintah sangat lemah. Pada tahun 2022, Kejaksaan Agung mengungkap skandal ekspor ilegal minyak sawit yang melibatkan pejabat Kementerian Perdagangan dan perusahaan besar. Namun, setelah kasus itu mencuat, tidak ada perubahan signifikan dalam kebijakan pengawasan, dan mafia tetap bisa beroperasi dengan cara yang lebih licik.

Dalam sektor BBM, mafia minyak berperan dalam proses impor minyak mentah melalui jalur rente. Bukannya membeli langsung dari negara penghasil minyak, Pertamina justru menggunakan trader perantara yang menaikkan harga beli, sehingga negara harus membayar lebih mahal. Praktik ini menunjukkan bahwa permainan mafia bukan sekadar isu kecil, tetapi telah menjadi bagian dari struktur ekonomi yang korup.

4. Kegagalan Mekanisme Pasar dan Kebijakan DMO yang Tidak Efektif

Pemerintah seolah percaya bahwa pasar akan menyelesaikan masalah harga minyak secara otomatis, tetapi kenyataannya justru sebaliknya. Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) yang mewajibkan produsen sawit untuk memasok minyak goreng ke pasar domestik dengan harga tertentu ternyata tidak berjalan efektif. Misalnya, pada Februari 2024, realisasi DMO minyak goreng hanya 41,2% dari target, yang artinya sebagian besar minyak sawit tetap dijual ke pasar ekspor dengan harga lebih tinggi. Akibatnya, harga minyak goreng di dalam negeri tetap naik, sementara rakyat harus membayar lebih mahal untuk kebutuhan pokok mereka.

Tanggung Jawab Pemerintah: Kebijakan yang Harus Dievaluasi

Melihat berbagai persoalan di atas, jelas bahwa pemerintah gagal dalam menjalankan fungsinya untuk menjaga kestabilan harga minyak. Alih-alih melindungi rakyat, pemerintah justru cenderung melindungi kepentingan industri besar dan elite ekonomi yang menikmati keuntungan dari krisis ini.

Sejumlah kebijakan yang harus dievaluasi antara lain:

Reformasi kebijakan subsidi BBM, agar tidak lagi dinikmati oleh kelompok kaya dan lebih berorientasi pada sektor transportasi publik serta masyarakat kecil. Meninjau ulang kebijakan mandatori biodiesel, dengan memastikan keseimbangan antara kebutuhan energi dan kebutuhan pangan rakyat. Meningkatkan transparansi dalam rantai pasok minyak, terutama dalam impor BBM dan distribusi minyak goreng, agar mafia tidak lagi leluasa bermain di dalamnya. Menegakkan hukum secara tegas terhadap pelaku penimbunan, penyelundupan, dan kartel minyak, agar mafia tidak terus menikmati keuntungan dengan cara yang merugikan rakyat.

Dampak bagi Masyarakat: Kemiskinan yang Kian Parah

Kenaikan harga minyak goreng bukan sekadar angka yang bergerak naik di papan informasi pasar. Ini adalah kisah tentang ibu-ibu yang mengais sisa rupiah di dompet mereka, menghitung apakah cukup untuk membeli sekantong minyak demi menyiapkan makanan bagi keluarga. Ini adalah kisah tentang pedagang gorengan di pinggir jalan yang harus menahan napas, memutuskan apakah mereka akan menaikkan harga dagangan dan kehilangan pelanggan, atau tetap bertahan dengan keuntungan yang kian menipis.

Bagi keluarga miskin, minyak goreng bukan sekadar kebutuhan dapur, tetapi penentu apakah mereka bisa makan dengan layak. Dengan harga yang melonjak, banyak keluarga terpaksa mengurangi konsumsi makanan bergizi, menggantinya dengan makanan yang lebih murah tetapi kurang sehat. Anakanak yang seharusnya tumbuh dengan asupan gizi baik kini hanya bisa mengandalkan makanan seadanya. Sementara itu, ibu-ibu yang bekerja sebagai pedagang makanan rumahan harus berpikir keras, mencari cara agar usaha mereka tetap berjalan tanpa membuat pelanggan lari karena harga yang tiba-tiba naik.

Di sudut-sudut kota, pedagang kaki lima yang menggantungkan hidupnya pada gorengan mulai menutup lapaknya lebih cepat dari biasanya. Mereka bukan tidak ingin berjualan, tetapi modal mereka semakin terkikis. Harga bahan baku yang melambung tinggi membuat keuntungan mereka semakin kecil. Beberapa bahkan menyerah, beralih menjadi buruh harian atau pekerja serabutan demi tetap bisa membawa pulang uang untuk keluarga.

Para buruh pabrik yang berupah pas-pasan pun merasakan dampaknya. Gaji yang tak pernah cukup kini terasa semakin berat ketika harga kebutuhan pokok ikut melonjak akibat kenaikan harga minyak goreng. Mereka harus memilih antara membeli minyak goreng atau membayar biaya sekolah anak, antara makan layak atau menabung untuk hari esok yang kian tidak pasti. Ketidakpastian ini menciptakan beban mental yang luar biasa, memaksa banyak orang bekerja lebih keras, bahkan di luar batas kemampuan mereka.

Kenaikan harga minyak goreng bukan sekadar isu ekonomi, tetapi juga isu keadilan sosial. Yang kaya tetap bisa membeli, sementara yang miskin harus berjuang lebih keras, bahkan untuk sesuatu yang seharusnya sederhana. Ketika harga kebutuhan dasar melambung, yang paling menderita adalah mereka yang suaranya tak terdengar—para ibu rumah tangga yang berjuang sendirian, para buruh yang bekerja tanpa henti, dan para pedagang kecil yang hanya ingin bertahan hidup.

Berangkat dari apa yang telah disampaikan di atas, kita semua dapat menarik kesimpulan bahwa kenaikan bahan pokok seperti minyak goreng akan mendorong laju dari peningkatan angka kemiskinan, terutama di daerah-daerah yang bergantung pada bahan bakar dan minyak goreng untuk usaha kecil dan menengah. Jika situasi ini terus dibiarkan, maka ketimpangan sosial akan semakin membesar, dan krisis ekonomi di kalangan rakyat kecil akan semakin dalam.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Krisis harga minyak di Indonesia bukan sekadar akibat dinamika pasar global, tetapi juga cerminan dari kegagalan kebijakan pemerintah, dominasi oligarki, dan lemahnya penegakan hukum terhadap mafia minyak. Melalui kajian ini, PB PMII mencoba memberikan beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan antara lain:

1. Mendesak pemerintah untuk memperbaiki kebijakan subsidi BBM dan minyak goreng.

2. Mengadvokasi transparansi dalam rantai pasok minyak, baik minyak goreng maupun BBM.

3. Menekan aparat penegak hukum untuk bertindak lebih tegas terhadap mafia minyak.

4. Melakukan kajian berkala dan diskusi publik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan persoalan ini.

Kita tidak bisa terus membiarkan segelintir elite ekonomi bermain di atas penderitaan rakyat. Sebagai sebuah organisasi kemahasiswaan, yang juga berperan aktif dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial, maka PMII akan tetap konsisten untuk menjadi garda depan dalam memperjuangkan kebijakan yang lebih adil dan berpihak pada masyarakat kecil.

DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Pangan Nasional. (2024). Harga Minyak Goreng Curah Naik 6 Bulan Beruntun, Tembus Rekor April 2024. Diakses dari https://databoks.katadata.co.id

2. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Lampung. (2025). Harga Minyak Goreng di Lampung Capai Rp20 Ribu Perliter, DPR RI Desak Pemerintah Segera Intervensi Pasar. Diakses dari https://lampungpro.co

3. Kompas.com. (2024). Dampak Kebijakan Biodiesel B35 terhadap Harga Minyak Goreng di Indonesia. Diakses dari https://www.kompas.com

4. CNBC Indonesia. (2024). Subsidi BBM Tidak Tepat Sasaran, Mayoritas Dinikmati Orang Kaya. Diakses dari https://www.cnbcindonesia.com

5. Katadata.co.id. (2024). Dominasi Oligarki dalam Industri Minyak Sawit: Mengapa Harga Minyak Goreng Tak Kunjung Stabil?. Diakses dari https://katadata.co.id

6. Seputar Lampung. (2025). Perkembangan Harga Pangan di Bandar Lampung Minggu 2 Februari 2025: Beras Turun, Minyak Goreng Naik. Diakses dari https://seputarlampung.pikiran-rakyat.com


Penulis, Bidang Perdagangan PB PMII 2024-2027

Sumber foto: www.rri.co.id