Oleh: Akhlish Aulia Rahim, Ketua PB PMII
PMII.ID - Seiring dengan berjalannya penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan korupsi dalam penentuan kuota haji tahun 2023-2024 di Kementerian Agama, muncul pertanyaan besar yang tidak bisa diabaikan oleh semua pihak: seberapa jauh jalan korupsi ini melintang? Siapa yang bermain di balik panggung? Dan apakah suara rakyat mendapat tempat dalam prosedur yang terkesan sarat kepentingan?
Fakta-fakta yang Memanggil Kebenaran
Berbagai laporan menyebutkan bahwa Kementerian Agama, di bawah Menag Yaqut Cholil Qoumas, telah menerbitkan SK No. 130/2024 pada 15 Januari 2024 yang membagi tambahan kuota haji menjadi 20.000 jemaah atas dasar pertemuan bilateral antara Presiden Joko Widodo dan Putra Mahkota Arab Saudi. Dari kuota tambahan itu, 10.000 dialokasikan untuk reguler, dan 10.000 untuk haji khusus — pembagian yang jelas berbeda ketentuan UU 8/2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, yang menetapkan bahwa kuota khusus maksimal 8% sementara reguler 92%.
KPK juga menghitung ada potensi kerugian negara lebih dari Rp 1 triliun akibat pengaturan ini. Sejumlah pejabat diperiksa, penggeledahan dilakukan, dan pencekalan terhadap beberapa pihak termasuk mantan Menag telah dijalankan.
Semua ini bukan sekadar persoalan teknis. Ia menyangkut kepercayaan publik terhadap institusi negara, legitimasi ibadah haji yang seharusnya murni soal spiritual dan pelayanan umat, bukan arena praktik yang merugikan rakyat.
Menyoal Keterlibatan Presiden: Pertanyaan dan Kewajiban
Pertemuan bilateral Presiden Joko Widodo dengan pemerintah Arab Saudi pada 19 Oktober 2023 disebut sebagai momen di mana tambahan kuota haji itu diperoleh. Namun, fakta bahwa kuota tersebut kemudian dibagi secara setengah-setengah antara reguler dan khusus (50:50) padahal Undang-Undang mengatur (8:92) menimbulkan pertanyaan: Siapa yang memerintah agar pembagian itu terjadi? Apakah SK/keputusan pembagian itu murni inisiatif kementerian, ataukah ada tekanan atau intervensi dari pihak lain? Apakah presiden sebagai kepala negara mengetahui atau bahkan menyetujui bentuk pembagian yang akhirnya merugikan negara dan calon jemaah haji?
Pertanyaan-pertanyaan ini bukan fitnah; ini adalah kebutuhan demokrasi dan pertanggungjawaban. Bila ada indikasi yang kuat bahwa kebijakan negara (termasuk keputusan presiden atau pejabat tinggi lainnya) berada di balik SK kontroversial ini, maka publik berhak tahu.
Tuntutan PMII: Audit Total dan Penelusuran Dalang
Sebagai Ketua Pengurus Besar PMII, saya menyampaikan tuntutan moral dan politik yang nyata:
1. KPK harus melakukan audit total terhadap aliran dana terkait kuota haji 2023-2024
Tidak cukup hanya menyelidiki alih kuota; harus ditelusuri: siapa yang memperoleh keuntungan finansial dari kuota khusus; siapa travel-travel yang mungkin “dibantu” pejabat; bagaimana mekanisme pengalihan dilakukan; apakah ada suap atau gratifikasi; apakah SK dikeluarkan berdasarkan prosedur baku atau manipulasi administratif; dan apa konsekuensi keuangan dan moralnya.
2. Pemeriksaan lembaga pengawas dan lembaga terkait
Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), asosiasi penyelenggara haji dan umrah, biro travel, Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU), dan semua pejabat Kementerian Agama yang pernah terkait wajib diperiksa. Tidak hanya saksi, tetapi juga semua pihak yang memiliki akses terhadap SK, keputusan, atau intervensi kebijakan.
3. Keterbukaan publik dan transparansi proses penyidikan
Publik berhak tahu: dokumen-dokumen yang menjadi dasar SK, daftar penerima kuota, nilai keuntungannya, dan juga siapa yang membuat keputusan akhir. Bila perlu, DPR dapat memanggil dan menunda pengesahan SK jika ditemukan penyimpangan serius. Media juga harus diizinkan mengakses informasi sah yang tak dilindungi rahasia negara.
4. Penelusuran kemungkinan keterlibatan presiden atau pejabat tinggi lainnya
Bila ada bukti bahwa Presiden atau pejabat lebih tinggi selain Menteri Agama turut andil dalam pembentukan kebijakan pembagian yang bertentangan dengan UU, maka mereka harus diperiksa atau paling tidak dimintai klarifikasi publik. Dalam sistem demokrasi, kepala negara dan pimpinan pemerintahan tidak boleh berada di luar bayangan hukum.
5. Reformasi regulasi penyelenggaraan haji
Setelah semua fakta terungkap, diperlukan revisi aturan agar peluang manipulasi serupa tidak terulang: mekanisme pembagian kuota harus jelas, pengawasan lebih ketat, audit internal dan eksternal wajib serta sanksi tegas terhadap pelanggaran.
Kasus kuota haji ini lebih dari skandal administratif. Ia adalah ujian integritas negara, keadilan bagi calon jemaah yang harus menunggu bertahun-tahun, dan komitmen kita terhadap prinsip bahwa kekuasaan dan kewenangan harus dapat dipertanggungjawabkan.
Sebagai Ketua PB PMII, saya menyerukan agar KPK tidak setengah-setengah dalam menyelidiki kasus ini. Tidak cukup menyentuh tangan yang jelas terlihat; harus pula menyingkap siapa yang menarik tali di belakang layar. Bila publik melihat bahwa hukum hanya menjerat tanpa menyentuh akar atau dalang utama, maka kepercayaan rakyat akan terus mengikis dan itu kita tidak boleh biarkan.