Oleh: M. Shofiyulloh Cokro*
*Ketua Umum PB PMII
Bayangkan bukan mesin yang mengambil alih meja kerja kita, tetapi kita duduk sebagai manajer sebuah tim cerdas baru. Tim itu terdiri dari agen-agen AI, asisten digital yang siap menjalankan tugas rutin, menganalisis data kompleks, bahkan menawarkan solusi kreatif. Inilah masa depan pekerjaan yang bukan tentang penggantian, melainkan transformasi peran manusia. Kita tidak lagi sekadar pekerja teknis, tetapi pemimpin, navigator, dan penentu arah bagi mesin pintar ini. Untuk memegang kendali, senjata baru mutlak diperlukan: AI Literacy. Ini bukan sekadar tahu cara pakai aplikasi, tapi memahami logika berpikir AI (AI Thinking), mengasah kemampuan memecahkan masalah yang semakin kompleks (Problem Solving), dan yang paling krusial, memiliki kompas etika yang kuat (Etika AI). Di sinilah manusia menemukan nilai tak tergantikannya: menjadi pengambil keputusan akhir yang bijak dan bermoral.
Gelombang AI ini bukan tsunami yang menyapu lapangan kerja, melainkan pasang besar yang membawa kapal-kapal baru menuju pulau kemakmuran yang belum terpetakan. AI diprediksi menciptakan kekayaan terbesar dalam sejarah umat manusia. Namun, kekayaan ini akan terwujud bukan melalui pemusnahan profesi lama, tetapi melalui kelahiran ekosistem industri dan peran yang sama sekali baru. Lihatlah munculnya profesi seperti AI Ethicist, sang penjaga nilai moral dalam algoritma; Human-AI Collaboration Specialist, sang arsitek sinergi optimal antara manusia dan mesin; atau Data Curator, sang kurator yang menyiapkan dan merawat bahan baku pengetahuan untuk AI. Ini adalah ladang baru yang membutuhkan benih-benih keahlian segar dan visi yang jauh.
Namun, samudera kemakmuran ini juga menyimpan pusaran arus deras. Persaingan global untuk menguasai AI telah menjadi ajang perebutan kekuasaan abad ke-21. Saat ini, peta kekuatan menunjukkan dominasi Amerika Serikat, yang menjadi rumah bagi 59% peneliti AI terkemuka dunia dan menarik investasi swasta terbesar. China tak ketinggalan, dengan kontribusi 27.5% dari seluruh publikasi penelitian AI global, menunjukkan ambisi besarnya. Pertanyaannya, siapa yang akan menjadi pemenang? Bukan sekadar siapa yang memiliki teknologi tercanggih, tapi siapa yang mampu mendominasi penerapan AI di ranah institusi Negara dan Agama, menguasai tuas perekonomian global, memiliki nilai ideologi yang kuat dalam membentuk narasi dan paling berpengaruh dalam membentuk wajah masa depan umat manusia dalam memimpin opini. Kekuatan AI adalah kekuatan untuk mendefinisikan realitas baru.
Kekuatan yang sedemikian besar membawa risiko yang tak kalah besarnya: jurang ketimpangan ekonomi yang kian melebar. Jika tak dikelola dengan bijak, keuntungan luar biasa dari AI bisa saja hanya mengalir deras ke segelintir elit teknologi, sementara banyak yang tertinggal di tepian. Solusinya tidak bisa setengah hati: diperlukan program reskilling masif untuk membekali jutaan tenaga kerja dengan keterampilan baru yang relevan, serta kebijakan distribusi kekayaan yang lebih adil untuk memastikan manfaat AI dinikmati secara luas. Kabar baiknya, pintu untuk memulai perjalanan ini terbuka lebar. Siapapun, termasuk kader-kader muda PMII, bisa mulai mempelajari dasar-dasar AI hari ini. Akses internet yang semakin demokratis menjadi jembatan emas menuju literasi digital yang diperlukan.
Dalam medan pertarungan ide ini, pemenang sejati bukan hanya yang paling ahli menulis kode, melainkan yang mampu menjadi pemimpin opini dan perangkai narasi. Tokoh seperti Sam Altman (OpenAI), Elon Musk (xAI), atau Aravind Srinivas (Perplexity) bukan sekadar insinyur brilian; mereka adalah visioner yang piawai memengaruhi cara dunia memandang potensi dan bahaya AI. Mereka membingkai perdebatan, menawarkan visi masa depan, dan pada akhirnya, membentuk jalan yang akan ditempuh peradaban kita. Namun dengan situasi kebutuhan akan peradaban baru bukan hanya milik mereka, kita sebagai generasi muda berhak dan memiliki peluang untuk menciptakan opini dan membentuk peradaban dengan narasi yang kita bentuk sesuai ideologi kita. Kekuatan untuk membentuk narasi inilah yang akan menentukan arah angin bagi gelombang AI.
Di sinilah PMII, dengan tradisi intelektual dan semangat pengabdiannya, menemukan ruang strategisnya. Menghadapi prediksi masa depan yang penuh tantangan sekaligus peluang luar biasa ini, PMII bukan sekadar penonton, melainkan katalisator yang menyiapkan kader-kadernya menjadi nahkoda tangguh. Persiapan ini berarti membekali kader dengan AI Literacy sebagai pondasi, mengasah AI Thinking dan Problem Solving sebagai senjata analitis, serta menanamkan Etika AI yang berakar pada nilai-nilai kemanusiaan universal dan keislaman yang rahmatan lil 'alamin sebagai kompas moral. PMII perlu menjadi garda depan dalam menyemai bibit AI Ethicist, Human-AI Collaboration Specialist, dan profesi masa depan lainnya, melalui pendekatan pendidikan yang adaptif dan multidisiplin.
Lebih dari itu, kader PMII harus siap menjadi problem solver di tingkat komunitas dan bangsa, menyuarakan kebijakan inklusif untuk mencegah kesenjangan digital dan ekonomi, serta aktif terlibat dalam diskusi global untuk memastikan masa depan AI yang adil dan berorientasi pada kemaslahatan manusia, bukan dominasi segelintir pihak. Dengan memadukan ketajaman analisis, kedalaman spiritual, kepemimpinan visioner, dan komitmen kuat pada keadilan sosial, kader PMII dapat memimpin bukan dengan rasa takut terhadap gelombang AI, tetapi dengan keyakinan untuk menyetirnya menuju pantai kesejahteraan dan kemajuan yang lebih merata bagi seluruh rakyat Indonesia dan dunia. Masa depan bukan tentang manusia versus mesin, tapi tentang manusia yang memimpin mesin dengan kebijaksanaan dan keberpihakan. Dan PMII ada di garda terdepan menyiapkan pemimpin-pemimpin itu. Saatnya berlayar, dengan ilmu sebagai dayung, etika sebagai kompas, dan semangat keadilan sebagai angin penggerak.