Menanggulangi Ancaman Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Modus Scammer Digital terhadap Generasi Z di Indonesia

Pendahuluan

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi ancaman baru dalam bentuk Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang menggunakan modus operandi berbasis digital. Modus ini berkembang pesat seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi dan meningkatnya penetrasi internet, khususnya di kalangan Generasi Z, yaitu kelompok usia muda yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Generasi ini tumbuh dalam lingkungan digital, menjadikan mereka melek teknologi, namun di saat yang sama rentan terhadap manipulasi berbasis sosial media, iming-iming kerja mudah, dan tawaran penghasilan besar dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. 

Modus TPPO yang kini marak dilakukan oleh sindikat internasional melibatkan perekrutan secara daring terhadap anak muda Indonesia, terutama melalui media sosial seperti Facebook, TikTok, dan WhatsApp. Mereka dijanjikan pekerjaan bergaji tinggi di luar negeri seperti di Kamboja, Myanmar, dan Laos, namun pada kenyataannya, mereka disekap dan dipaksa bekerja sebagai operator penipuan digital (scammer) dengan target korban dari berbagai negara, termasuk negara-negara Eropa dan Amerika Utara. Mereka tidak hanya menjadi korban eksploitasi ekonomi, tetapi juga mengalami kekerasan fisik, isolasi, dan pelanggaran hak asasi manusia.

Masalah Utama

Fenomena ini memperlihatkan bahwa TPPO telah berevolusi, dari yang sebelumnya berbasis eksploitasi seksual atau tenaga kerja di sektor domestik, kini bergeser menjadi eksploitasi di dunia digital. Namun sayangnya, kesadaran publik, khususnya di kalangan Generasi Z, mengenai bahaya rekrutmen kerja ilegal secara daring masih sangat rendah. Sebagian besar korban tidak memahami bahwa tawaran kerja yang terlihat sah dan profesional melalui iklan media sosial dapat menjadi pintu masuk ke dalam jaringan TPPO global. Mereka pun tidak memiliki akses informasi yang memadai tentang prosedur kerja di luar negeri yang legal dan aman.

Permasalahan semakin kompleks ketika kebijakan dan regulasi nasional belum sepenuhnya mampu menjangkau dan menindak praktik TPPO dengan modus digital yang bersifat lintas negara dan menggunakan sarana teknologi informasi canggih. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang misalnya, masih lebih berfokus pada bentuk-bentuk eksploitasi konvensional. Padahal, eksploitasi digital saat ini telah menjadi bentuk baru dari perbudakan modern. Di sisi lain, pengawasan terhadap aktivitas daring yang berpotensi menjadi sarana perekrutan TPPO juga masih lemah karena keterbatasan sumber daya dan koordinasi antar lembaga.

Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus scammer digital telah berkembang menjadi bentuk kejahatan transnasional yang kompleks dan sistemik. Di Indonesia, fenomena ini menyasar kelompok paling rentan dalam struktur sosial, yakni generasi muda, khususnya Generasi Z yang kerap menjadi korban eksploitasi melalui iming-iming pekerjaan di luar negeri yang ternyata palsu. Forum Labour Hub Vol. 2 yang diselenggarakan oleh PB PMII menegaskan bahwa kasus-kasus TPPO dengan modus digital kini menjadi ancaman nyata terhadap masa depan bangsa, dengan ribuan pemuda Indonesia tertipu oleh tawaran kerja yang disebarkan melalui media sosial, aplikasi daring, dan kanal komunikasi informal lainnya.



Dari berbagai temuan yang diangkat dalam forum tersebut, diperoleh gambaran bahwa lebih dari 7.000 kasus TPPO telah terjadi, dengan 40 persen di antaranya melibatkan korban berusia 15 hingga 24 tahun. Mayoritas korban adalah perempuan dan anak-anak. Negara-negara tujuan utama sindikat TPPO antara lain Kamboja, Myanmar, Thailand, Uni Emirat Arab, dan Afrika Selatan. Modus operandi yang digunakan sangat terstruktur: korban direkrut melalui media sosial, dijanjikan pekerjaan atau magang bergaji tinggi di luar negeri, tetapi kemudian dipekerjakan secara paksa untuk melakukan penipuan daring, seperti investasi bodong atau judi online.

Penyebab utama maraknya kasus TPPO digital ini berkaitan erat dengan kemiskinan, tingginya angka pengangguran, rendahnya literasi digital dan hukum, serta lemahnya pengawasan oleh negara terhadap praktik migrasi ilegal. Dalam banyak kasus, korban tidak memiliki akses terhadap informasi yang valid dan cenderung percaya pada narasi “jalan pintas” menuju kesuksesan finansial. Lebih dari itu, kebijakan negara belum sepenuhnya responsif terhadap dinamika kejahatan perdagangan orang yang kini melintasi batas negara dan dunia digital.

Kerangka hukum yang ada saat ini, seperti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO, dinilai belum memadai dalam menghadapi kejahatan digital yang semakin canggih. Lemahnya kapasitas aparat penegak hukum dalam memahami dan mengimplementasikan unsur-unsur TPPO juga menjadi hambatan besar dalam proses perlindungan dan penegakan hukum. Di sisi lain, KUHP baru yang mulai mengatur tentang TPPO masih memerlukan interpretasi dan petunjuk pelaksanaan yang lebih kuat dan konkret.

Sementara itu, pendekatan berbasis korban (victim-centered approach) yang digagas oleh organisasi internasional seperti IOM (International Organization for Migration) menunjukkan urgensinya untuk mengubah cara pandang dalam menangani TPPO. Perlindungan terhadap korban semestinya mencakup edukasi, pendampingan psikososial, bantuan hukum, dan pemulihan yang komprehensif. Namun, pelaksanaannya masih menghadapi kendala karena belum adanya Standar Operasional Prosedur (SOP) nasional yang dapat digunakan lintas kementerian dan lembaga.

Rekomendasi PB PMII Bidang Ketenagakerjaan

Dalam menghadapi tantangan ini, diperlukan langkah-langkah strategis dan lintas sektoral. Pertama, regulasi yang ada harus direformasi secara menyeluruh. UU TPPO perlu direvisi agar mampu menjangkau bentuk-bentuk kejahatan digital dan jaringan korporasi yang terlibat dalam TPPO. Begitu pula dengan KUHP baru, yang harus diimplementasikan dengan pendekatan yang lebih tajam dan berbasis keadilan. Selain itu, kapasitas aparat penegak hukum perlu ditingkatkan melalui pelatihan yang spesifik mengenai TPPO digital dan kasus lintas negara.

Kedua, literasi digital harus dijadikan prioritas nasional. Modul edukasi tentang migrasi aman dan bahaya TPPO perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan tinggi, vokasi, dan pelatihan kerja. Kampanye digital yang menyasar Generasi Z harus dilakukan secara masif dengan melibatkan tokoh muda, alumni korban, influencer, dan komunitas kampus. Tujuannya adalah membentuk kesadaran kritis terhadap potensi penipuan digital yang berujung pada perdagangan orang.

Ketiga, perlindungan korban harus diperkuat melalui pengembangan SOP nasional terpadu. Pendekatan 4P; Prevention, Protection, Prosecution, dan Partnership, yang telah dijalankan oleh Kementerian Luar Negeri dan IOM, harus menjadi fondasi bagi seluruh kebijakan pencegahan dan penanganan TPPO. Layanan shelter, rehabilitasi psikologis, bantuan hukum, serta mekanisme repatriasi korban harus dijalankan secara terkoordinasi dan terstruktur.

Keempat, kolaborasi lintas sektor perlu didorong secara intensif. Pembentukan Gugus tugas Nasional TPPO Digital yang melibatkan kementerian/lembaga, LSM, komunitas akademik, dan pelaku migrasi legal seperti APJATI sangat penting untuk menciptakan tata kelola migrasi yang aman dan adil. Di level internasional, diplomasi bilateral dan multilateral harus diperkuat guna mendorong tanggung jawab bersama dalam menindak sindikat perdagangan orang.

Kesimpulan

Upaya pemerintah selama ini memang telah dilakukan, seperti edukasi literasi digital dan kampanye pencegahan TPPO oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan perlindungan Anak, serta kerja sama diplomatik oleh Kementerian Luar Negeri dalam memulangkan korban. Namun, langkah-langkah tersebut masih bersifat reaktif, sporadis, dan belum menyasar secara strategis kelompok paling rentan, yaitu Generasi Z. Sementara itu, para pelaku TPPO semakin adaptif, menggunakan platform yang digemari anak muda dan mengganti skema mereka secara cepat agar tidak terdeteksi oleh sistem pelacakan.

Untuk itu, Indonesia perlu segera melakukan langkah konkret dan terukur untuk menanggulangi ancaman ini. Langkah pertama yang penting dilakukan adalah merevisi regulasi yang ada, terutama UU TPPO agar dapat mencakup eksploitasi berbasis digital dan rekrutmen kerja fiktif. Revisi ini penting agar aparat penegak hukum memiliki dasar hukum yang kuat dalam menindak pelaku dan melindungi korban yang direkrut secara online untuk dijadikan scammer. Selanjutnya, perlu dilakukan penguatan sistem edukasi digital kritis, yang tidak hanya fokus pada penggunaan teknologi, tetapi juga pada kecakapan berpikir kritis, mengenali penipuan online, dan membedakan antara tawaran kerja legal dan ilegal. Pendekatan ini harus menggunakan media dan bahasa yang akrab dengan Generasi Z, misalnya Melalui you tube, podcast, TikTok, dan game interaktif, serta menggandeng influencer untuk menyampaikan pesan edukatif secara efektif.

Di samping itu, pemerintah perlu membangun sistem deteksi dan pelaporan dini berbasis teknologi. Pengembangan sistem berbasis kecerdasan buatan (AI) untuk mengidentifikasi pola perekrutan mencurigakan di internet dapat menjadi alat penting dalam pencegahan. Saluran pengaduan seperti hotline, aplikasi mobile, dan layanan chat harus dirancang dengan mempertimbangkan karakteristik pengguna muda agar mudah diakses dan digunakan secara anonim.

Kerja sama internasional juga menjadi hal yang sangat mendesak. Pemerintah Indonesia perlu memperkuat kerja sama bilateral dan multilateral, khususnya dengan negara-negara ASEAN dan Tiongkok, untuk memberantas kamp scammer digital yang selama ini menjadi tempat eksploitasi tenaga kerja Indonesia secara ilegal. Diplomasi perlindungan WNI harus menjadi prioritas, tidak hanya dalam memulangkan korban, tetapi juga dalam membongkar jaringan sindikat dan menuntut pertanggungjawaban pihak-pihak yang terlibat.

Di tingkat pendidikan, integrasi isu TPPO dalam kurikulum sekolah dan universitas juga penting dilakukan. Edukasi tentang migrasi aman, bahaya penipuan digital, dan mekanisme perlindungan hukum harus menjadi bagian dari pendidikan karakter dan bimbingan karier. Selain itu, pelibatan komunitas mahasiswa, pelajar, dan organisasi kepemudaan dalam gerakan digital anti TPPO dapat memperluas jangkauan pencegahan dan menciptakan kesadaran kolektif di kalangan Generasi Z.

Secara keseluruhan, ancaman TPPO dengan modus scammer digital merupakan tantangan baru yang membutuhkan pendekatan kebijakan yang holistik, berbasis teknologi, dan responsif terhadap dinamika sosial media. Generasi Z sebagai tulang punggung masa depan bangsa harus diproteksi dari bentuk eksploitasi modern ini. Melalui kombinasi antara revisi regulasi, penguatan edukasi kritis, pembangunan sistem deteksi dini, diplomasi aktif, dan pelibatan komunitas muda, Indonesia dapat mewujudkan perlindungan yang lebih kuat bagi generasi mudanya sekaligus berkontribusi dalam pemberantasan perdagangan orang di era digital.

Dengan demikian, TPPO berbasis digital bukan hanya persoalan kriminalitas, tetapi juga merupakan cermin kegagalan sistemik dalam menjamin migrasi yang aman, informasi yang adil, dan keadilan sosial bagi generasi muda. Policy brief ini menegaskan bahwa upaya perlindungan terhadap Generasi Z dari ancaman perdagangan orang tidak dapat dilakukan secara sektoral, melainkan harus menjadi bagian dari transformasi kebijakan nasional yang berkeadilan, berkelanjutan, dan berpihak pada martabat manusia.