Minyak, Rupiah, dan Diplomasi: Efek Domino Iran–Israel bagi Indonesia

Di gagas Oleh: Satya Graha Habibilah, S.Sos – Akademisi Hubungan Internasional dan Ketua Biro Kemitraan dan Jaringan Internasional Bidang Hubungan Internasional

Ketegangan Iran–Israel memanas setelah serangan Israel ke fasilitas nuklir Iran pada 13 Juni 2025, yang dibalas dengan serangan rudal Iran ke Israel. Setelah tekanan diplomatik Amerika Serikat, kedua pihak sepakat gencatan senjata sementara akhir Juni 2025. Meskipun kini mereda, eskalasi konflik ini tetap menimbulkan kekhawatiran global karena kawasan Timur Tengah krusial bagi pasokan energi dunia. Bagi Indonesia, dampaknya tak hanya bersifat psikologis, melainkan juga ekonomi dan geopolitik. Analisis berbasis data menunjukkan beberapa jalur utama pengaruhnya terhadap perekonomian dan stabilitas nasional.

Dampak Harga Energi Global dan Ekonomi Indonesia 

Iran adalah produsen minyak besar: pada 2022 Iran memproduksi sekitar 2,55 juta barel per hari (setara ~3,5% produksi global) dan menyimpan ~208 miliar barel cadangan. Jika konflik mengganggu produksi atau penutupan Selat Hormuz (jalur >15% pasokan minyak dunia), harga minyak bisa melonjak tajam. Indonesia sebagai pengimpor minyak mentah dan produk jadi (sekitar 22,7 juta dan 22,9 juta kiloliter pada 2022) akan menanggung beban subsidi energi lebih besar. Harga energi yang tinggi mendorong inflasi domestik, menurunkan daya beli, dan menekan pertumbuhan ekonomi. Misalnya, IMF memperkirakan inflasi global 2024 mencapai 5,9%, dan lonjakan harga minyak akibat konflik berpotensi meningkatkan angka itu lebih lanjut.

Gangguan rantai pasok juga meluas pada komoditas krusial. Selain minyak, export LNG dari Qatar–UAE (sekitar 40% pasokan gas Indonesia) bisa terhambat. Industrialisasi Indonesia yang bergantung gas, pupuk, dan bijih impor (besi, komponen manufaktur) akan menghadapi kenaikan biaya produksi. Data simulasi ekonomi (model GTAP) menunjukkan, meski dampak langsung terhadap PDB Indonesia kecil (~0,005%), efek tidak langsung melalui perlambatan ekonomi mitra dagang (China, Jepang) dapat membuat perlambatan tersebut lebih signifikan.Tekanan harga input dan melemahnya perdagangan (impor barang manufaktur dan pangan anjlok) juga mengancam daya saing ekspor.

Sentimen Pasar Keuangan dan Mata Uang

Ketidakpastian geopolitik memicu arus modal keluar (capital outflow) menuju aset aman seperti dolar AS dan emas. Analis mencatat IHSG dan rupiah melemah seiring ketegangan pada pertengahan Juni 2025. Misalnya, pada 18 Juni 2025 IHSG turun tajam dan rupiah tertekan menunggu kebijakan moneter global. Kenaikan permintaan aset safe-haven meningkatkan biaya pinjaman luar negeri Indonesia dan menekan nilai tukar rupiah. Sebaliknya, saat kabar gencatan senjata 24 Juni, IHSG justru menguat ~0,5% dan rupiah sedikit menguat, menunjukkan sentimen pasar masih peka terhadap perkembangan konflik. Namun, pasar tetap rentan: lonjakan ketegangan selanjutnya bisa memicu koreksi lanjutan. Dampak makro lainnya termasuk cadangan devisa berkurang jika BI harus intervensi (cadangan sempat turun ke US$140,4 miliar pada Maret 2024).

Spillover ke Asia Tenggara dan Keamanan Kawasan

Secara geografis konflik ini jauh dari Asia Tenggara, namun negara-negara ASEAN proaktif mengantisipasi dampaknya. Beberapa pemerintah Asia Tenggara telah mengevakuasi atau menyiapkan jalur evakuasi warga dari Iran dan Israel (misalnya, pemerintah Indonesia siap mengevakuasi ~386 WNI mahasiswa di Iran). Pemerintah Malaysia dan Filipina juga bergerak mirip, menandakan kekhawatiran akan penyebaran ketegangan. Para pemimpin kawasan mengecam eskalasi dan menyerukan de-eskalasi: misalnya, Presiden Indonesia Prabowo menyatakan perlunya solusi damai dan segera gencatan senjata, sementara Malaysia mengecam tindakan militer Israel sebagai pelanggaran hukum internasional.

Meski zona konflik jauh, efek pengamanan maritim global berpotensi mempengaruhi jalur pelayaran internasional. Penutupan atau pengalihan rute di Selat Hormuz dan Laut Merah (imbas ketegangan Iran, Yaman) bisa menaikkan ongkos logistik dunia, yang secara tak langsung dirasakan oleh Indonesia dalam biaya energi dan impor. Secara domestik, konflik ini belum berarti ancaman militer langsung bagi nasional, namun menguji ketahanan pangan dan energi nasional. Selain itu, pemerintah perlu mewaspadai kemungkinan propaganda ekstremis atau sentimen anti-baratan mengemuka di media sosial yang bisa mengganggu ketertiban.

Diplomasi Luar Negeri dan Peran Indonesia

Dalam situasi ini, diplomasi menjadi ujung tombak. Indonesia menekankan prinsip “bebas-aktif”: tidak berpihak secara militer namun aktif mencari perdamaian. Kemenlu RI telah mengecam serangan Israel dan mendukung gencatansenjata. Praktik “bebas-aktif” tampak ketika Presiden Prabowo memilih hadir di forum internasional selain G7, menegaskan posisi non-blok Indonesia. Ahli hubungan internasional UGM menilai Indonesia perlu lebih berani bersuara di forum global, misalnya dalam perjanjian non-proliferasi nuklir, dan berperan dalam mediasi damai. Indonesia juga mendorong kerjasama ASEAN dan organisasi internasional (PBB, OKI) untuk menekan eskalasi dan mengupayakan jalur diplomasi. Intinya, kebijakan luar negeri Indonesia kini fokus menahan konflik agar tidak melebar, serta melindungi warga dan kepentingan nasional lewat diplomasi aktif.

Mitigasi Dampak di Dalam Negeri

Para ekonom menekankan pentingnya menjaga fondasi ekonomi dalam negeri. INDEF merekomendasikan stabilisasi harga BBM dan LPG melalui kebijakan subsidi agar inflasi tidak melonjak. Diversifikasi sumber energi juga digalakkan: impor migas dapat dialihkan dari negara aman selain Timur Tengah, misalnya memperkuat kerjasama energi di ASEAN atau Australia. UGM menyarankan Perusahaan Migas (Pertamina) diperkuat tata kelolanya dan kapasitas kilang ditambah untuk mengurangi ketergantungan impor. Sektor manufaktur diimbau mendiversifikasi rantai pasok agar tidak sepenuhnya terpaut pada wilayah rawan konflik. Langkah lain termasuk menjaga likuiditas valuta asing (dolar AS), mendorong repatriasi modal saat rupiah melemah, serta memperkuat cadangan devisa untuk menghadapi gejolak global.

    Beberapa poin penting yang perlu diwaspadai dan ditangani Indonesia:

  • Harga energi: Konflik ini bisa mendorong kenaikan harga minyak dan gas yang menekan APBN dan inflasi domestik.
  • Pasar keuangan: Ketidakpastian memicu pelemahan rupiah dan IHSG. Pemerintah/BI perlu menjaga stabilitas moneter dan mencegah kepanikan di pasar.
  • Pasokan strategis: Gangguan rantai pasok energi dan komoditas vital (minyak mentah, LNG, bahan baku industri) memerlukan diversifikasi sumber dan peningkatan cadangan nasional.
  • Diplomasi aktif: Indonesia harus memainkan peran di ASEAN, PBB, dan forum nuklir untuk mendorong de-eskalasi serta melindungi warga dan kepentingan nasional.
  • Soliditas domestik: Memperkuat ekonomi dalam negeri (transparansi, pengurangan ketimpangan, penciptaan lapangan kerja) menjadikan Indonesia lebih tahan terhadap guncangan eksternal.

Dengan kebijakan mitigasi yang tepat, Indonesia dapat meminimalkan dampak negatif eskalasi konflik Iran–Israel. Memperkuat ketahanan energi dan fiskal, serta menyokong diplomasi proaktif, adalah kunci agar stabilitas ekonomi dan keamanan nasional terjaga. Seperti ditegaskan pakar, alih-alih panik, krisis global ini harus menjadi momentum penguatan fondasi ekonomi dan peran internasional Indonesia.