Oleh: LUBIS, S.H., M.H.
*Wakil Bendahara Umum PB PMII
Pendahuluan
Pancasila bukan sekadar dasar negara; ia adalah jiwa bangsa Indonesia yang menyatukan perbedaan suku, agama, budaya, dan pandangan hidup ke dalam satu semangat kebangsaan. Di tengah tantangan zaman yang terus berkembang—baik dalam bentuk ideologi transnasional, konflik sosial, maupun pengaruh digitalisasi—Pancasila tetap menjadi jangkar utama yang menstabilkan arah bangsa.
Dalam konteks inilah, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) hadir dan mengambil peran strategis. Sebagai organisasi kemahasiswaan berbasis nilai-nilai keislaman dan kebangsaan, PMII menjadikan Pancasila bukan hanya sebagai semboyan, tetapi sebagai pijakan perjuangan. Dari ruang kelas kampus hingga desa-desa pelosok negeri, PMII terus menjaga dan menghidupkan nilai-nilai Pancasila di tengah masyarakat.
Pancasila dalam Perspektif Perjuangan PMII
PMII tidak dapat dipisahkan dari semangat nasionalisme. Lahir pada 17 April 1960, PMII dibentuk oleh mahasiswa-mahasiswa Nahdlatul Ulama yang sadar akan pentingnya perjuangan intelektual berbasis ideologi kebangsaan dan keislaman yang inklusif. Pancasila menjadi pondasi nilai yang melekat dalam tubuh PMII.
Kelima sila dalam Pancasila bersenyawa dengan nilai dasar pergerakan (NDP) PMII:
Ketuhanan Yang Maha Esa selaras dengan komitmen PMII terhadap Islam Ahlussunnah wal Jama’ah yang moderat dan toleran. Kader PMII tidak hanya diajarkan untuk menjadi religius, tetapi juga menjadi pembela pluralisme dan toleransi antar umat.
Kemanusiaan yang adil dan beradab tercermin dalam perjuangan PMII untuk keadilan sosial dan kemanusiaan. PMII aktif dalam isu-isu HAM, kemiskinan, dan ketimpangan sosial.
Persatuan Indonesia adalah denyut nadi PMII. Dalam berbagai dinamika sosial-politik, kader PMII selalu hadir untuk menjahit kembali simpul-simpul persatuan yang nyaris robek karena perbedaan politik, etnis, atau agama.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan menjadi prinsip kader PMII dalam membangun budaya demokrasi yang partisipatif dan bermartabat.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia diinternalisasi melalui kerja-kerja pemberdayaan, advokasi masyarakat, serta kritik terhadap kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil.
Peran Kader PMII: Dari Kampus ke Akar Rumput
PMII sebagai organisasi kaderisasi memiliki tanggung jawab besar: mencetak generasi muda yang tidak hanya cerdas intelektual, tapi juga tangguh secara ideologis. Dalam konteks ini, kampus menjadi laboratorium awal kader PMII membangun gagasan dan ide perjuangan berlandaskan Pancasila.
Namun perjuangan tidak boleh berhenti di kampus. Kader PMII harus mampu turun ke masyarakat, menjadi pelopor pemberdayaan di desa, penggerak literasi di sekolah-sekolah, serta menjadi pelayan umat dan rakyat di berbagai lini. Di sinilah PMII tampil unik—menyatukan idealisme kampus dengan realitas sosial.
Dalam konteks itu pula, Pancasila dihidupkan dalam bentuk pengabdian. PMII hadir di pelosok negeri melalui berbagai kegiatan: pelatihan wirausaha, penyuluhan hukum, advokasi perempuan dan anak, serta penguatan pendidikan karakter. Semua dilakukan demi menjaga nilai luhur Pancasila agar tetap membumi dan tidak tercerabut dari kehidupan rakyat.
Sebagaimana ungkapan Bung Karno:
"Pancasila adalah isi jiwa bangsa Indonesia yang telah berurat berakar selama berabad-abad lamanya.”
Pancasila di Era Digital dan Tantangan Baru
Tantangan hari ini tidak lagi hanya bersifat fisik, tetapi ideologis dan digital. Radikalisme menyebar di media sosial, intoleransi merajalela di platform-platform daring, dan paham-paham anti-Pancasila menjangkau generasi muda melalui narasi yang membungkus kebencian dengan label keagamaan atau identitas.
Dalam konteks ini, PMII harus menjadi kekuatan penyeimbang. Kader PMII harus melek digital dan mampu berperan aktif sebagai produsen konten positif yang mengusung nilai-nilai Pancasila: toleransi, gotong royong, cinta tanah air, dan keberagaman. Media sosial bukan hanya alat komunikasi, tapi ladang perjuangan ideologis.
Lebih dari itu, PMII perlu membangun jejaring kolaboratif dengan elemen bangsa lainnya—baik lintas agama, suku, maupun profesi—untuk membumikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila bukan dokumen mati, tetapi harus menjadi narasi utama pembangunan peradaban Indonesia.
PMII dan Komitmen Kebangsaan
PMII telah membuktikan eksistensinya dalam perjalanan bangsa. Banyak alumni PMII yang kini menjadi pemimpin nasional, aktivis, cendekiawan, pengusaha, dan pelayan masyarakat. Ini membuktikan bahwa PMII bukan hanya tempat berproses, tetapi juga kawah candradimuka untuk melahirkan kader-kader kebangsaan yang Pancasilais sejati.
Komitmen PMII terhadap Pancasila bukan sekadar formalitas. Dalam setiap forum kaderisasi—MAPABA, PKD, PKL hingga PKN—nilai-nilai kebangsaan terus digaungkan. Para kader dididik untuk menjadikan Pancasila sebagai pijakan berpikir, berorganisasi, dan bertindak.
"Kami bukan hanya mahasiswa, kami kader pergerakan. Kami bukan hanya penghafal sila, kami penjaga nilai."
Itulah identitas kader PMII.
Penutup: Saatnya Bergerak, Saatnya Menjaga
Menjaga Pancasila bukan tugas pemerintah semata. Ini adalah tugas seluruh rakyat Indonesia—terutama generasi muda. PMII sebagai organisasi kader harus terus hadir sebagai penjaga ideologi, penggerak perubahan, dan pelayan masyarakat.
Sebagai Wakil Bendahara Umum PB PMII, saya mengajak seluruh kader PMII dari Sabang hingga Merauke untuk terus menjadikan Pancasila sebagai pedoman perjuangan. Dari ruang diskusi hingga aksi sosial, dari mimbar akademik hingga ladang pengabdian—kita adalah penjaga nilai.
Pancasila bukan sekadar dasar negara. Ia adalah ruh bangsa yang harus kita jaga bersama. Dan PMII, sejak 1960 hingga kini, tetap setia menjadi garda terdepan dalam menjaga Indonesia dari kampus hingga pelosok negeri.
“Pancasila kuat, Indonesia hebat. Bersama PMII, kita jaga keduanya.”